Lahirnya Sastra Populer (Fiksi Populer)
Dalam sejarah sastra indonesia, istilah fiksi populer mulai dikenal pada tahun 1980-an, yaitu bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan bahasa Melayu-pasaran (rendahan) yang berjudul Sobat Anak-Anak karya Lie Kim Hok. Bacaan ini hanya menampilkan cerita-cerita yang ringan dengan maksud menghibur. Konsumen bacaan itu juga terbatas di kalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9-10). Kemudian tahun 1930-an, fiksi populer menghangat kembali dengan banyaknya terbitan “roman Medan” yang oleh R. Roolvink (1959) disebut “roman pictjisan”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan bacaan murahan walaupun tidak harus lebih murah dari pada buku-buku yang dianggap lebih sastra, melainkan adalah bacaan yang mudah dicerna, non-kontemplasi yang serius, stereotip, juga indikasi mengeksplorasi seks.
Demikian itu pula, penyebab tak mendapat perhatiannya fiksi populer di kalangan kritikus sastra. Terciptanya hegemoni anggapan bahwa fiksi populer itu tidak signifikan secara estetik dan literer sehingga tak layak diteliti. Tidak menyanggah bahwa sejauh ini sedikit sekali para peneliti Indonesia yang memberi perhatian pada fiksi populer, seperti halnya Jakob Sumardjo, Ajip Rosidi, dan Nio Joe Lan yang masih menempatkan fiksi populer sebagai bacaan yang kuran bermutu dibandingkan dengan karya sastra serius. Namun, memperbandingkan fiksi populer dengan sastra “serius” adalah membandingkan sesuatu berdasarkan satu anggapan yang telah mapan, mengukur estetika dan kebenaran berdasarkan asumsi normatif cukup diminati banyak pembaca. Tahun 1970-an bermunculan bacaan populer seperti karya Abdullah Harahap (Musim Cinta Telah Berlalu), Marga T. (Karmila), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustasi Puncak Gunung), Eddy D. Iskandar (Cowok Komersil, Gita Cinta Dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil), Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalanan), dan sebagainya.
Tahun 1980-an masyarakat digegerkan dengan terbitnya Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak, karyanya Gola Gong, Zarra Zetira, dan sebagainya. Tahun 1990-an fiksi populer mulai tenggelam karena menghadapi persaingan yang cukup serius, yakni dengan hadirnya beberapa televisi swasta, dengan memprioritaskan tayangan produk lokal yang telah dikondisikan oleh peraturan pemerintah pada waktu itu, maka sinetron mulai menjadi andalan. Demikian dengan hadirnya sinetron tersebut masyarakat mulai beralih hobi.
Terakhir pada dasawarsa ini fiksi populer muncul kembali ke permukaan publik dengan hadirnya novel seperti, Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman), Ketika Cinta Bertasbih (Habiburrahman), Trilogi Novel (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov) karyanya Andrea Hirata, dan sebagainya. Makin maraknya fiksi populer bahkan ada yang mengeksplorasi isi novel tersebut ke layar kaca (Wanita Berkalung Sorban, Laskar Pelangi, dan lain-lain).
Posisi Sastra Populer Indonesia
Tidak dapat dipungkiri ketika seseorang memilih satu anggapan tertentu tentang fiksi populer dan mencoba menulis, maka sadar atau tidak seseorang tersebut mengambil posisi seperti diposisikan terhadap karya-karya sastra pada umumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, semua terbitan kesastraan sedapat mungkin dikontrol pemerintah dengan Nota Rinkes-nya melalui manajemen Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat). Nota itu berisi aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, tidak berpolitik (tidak merusak wibawa pemerintah) (Teeuw, 1955: 57-60), merupakan satu criteria mana sastra yang serius, mana yang liar atau populer.Yang lolos melalui Balai Pustaka kemudian merupakan sesuatu yang menjadi kanon, yang tidak lolos dari Balai Pustaka dianggap sebagai bacaan liar, seperti karya Marco kartodikromo berjudul Student Hijo, bahkan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis hampir tidak jadi diterbitkan jika tidak diubah sesuai dengan aturan main Nota Rinkes.
Sayangnya, asumsi ini masih tetap tumbuh dan bahkan tidak disadari dilegitimasikan pula di masa Orde Baru. Karena menjadi kriteria “bawah sadar” Negara, kriteria ini menjadi dominant dan hegemonik pada masa-masa berikutnya. Untuk itu kita perlu mengingat tulisannya Heryanto tentang empat ragam kesusastraan Indonesia, yaitu kesusastraan yang diresmikan, yang dilarang, kesusastraan yang dilarang, dan kesusastraan yang dipisahkan. Itulah sebabnya, fiksi populer yang demikian marak tahun 1970-an hingga awal 1980-an, bukan saja karena factor teknologis pada khususnya atau sebagai akibat perkembangan pendidikan dan ekonomi, tetapi di pihak lain, karena fiksi populer menjadi bagian tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan semacam “pelarian” dari wacana politik yang demikian ketat, atau justru sebagai ajang kompromi imajinari terhadap realitas politik yang sesungguhnya. Kita tahu bahwa fiksi populer bukan saja diabaikan oleh para peneliti, juga secara sukarela dibiarkan oleh kekuasaan karena dianggap tidak mengganggu, dalam beberapa hal malah melegitimasi kekuasaan yang sedang berlangsung, mengusung wacana yang justru memperkuat posisi elite.
Dapat diperkirakan, bahwa era 1970-an hingga 1980-an adalah masa jaya fiksi populer. Hampir sebagian besar orang mengenal dan membaca karya Ashadi yang berjudul Cintaku di Kampus Biru. Dikemudian hari banyak novel populer difilmkan, dengan aktor dan aktris populer pada masa itu.
Tahun 1998, wacana politik kekuasaan mengalami perubahan radikal. Kerangka acuan stratifikasi sastra di Indonesia tidak berlaku lagi. Banyak karya yang dilarang, seperti tetralogi Pramoedya, karya Marco, Semaun, dan sebagainya, sekarang diterbitkan secara bebas tanpa kendala politik. Sementara itu, teori dan kritik sastra juga semakin mandiri sehingga lebih memandang karya-karya kemanusiaan sebagai teks tersendiri, sebagai representasi yang berhak dianalisis. Itu sebabnya, perhatian terhadap fiksi-fiksi populer semakin luas, mendapat perhatian tersendiri untuk dikaji.
Peta Politik yang Melatarbelakangi Kanonisasi Sastra Indonesia
Kanon sastra dapat bermakna kitab hokum. Kanon sastra kerap berarti kitab hokum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Sejalan dengan arus reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Kanon sastra dapat berubah. Apa yang dulu diakui termasuk dalam kanon saastra tidak diakui lagi. Perubahan terjadi antara lain karena makin aspirasi yang berkembang di masyarakat dan perkembangan ilmu. Lalu, dengan adanya perkembangan lebih lanjut, seperti munculnya sosiologi sastra, kanon sastra pun dapat berubah.
Dalam pandangan postmodern, kanon estetis menegaskan eksistensi kelompok yang berkuasa dalam mencipta budaya klasik di mana sekumpulan literatur, buku, sikap, dan praktik yang melahirkan hegemoni dengan karakter kebenaran satu dimensi dan berlaku universal yang ditampilkan kepada dunia sebagai teladan. Dalam sastra Barat asal-usul kanon dapat dilacak pada pengakuan terhadap orang-orang suci (saints) dalam tradisi Gereja Roma. Oleh Gereja, orang-orang yang diakui kesuciannya itu dikanonkan dengan jalan menatahkan gambar orang-orang suci itu pada kaca gereja sebagai tanda pengakuan terhadap kesucian mereka.
Karya sastra yang mampu bertahan melampau berbagai zaman termasuk dalam kanon sastra. Menurut Nirwan Dewanto dalam khazanah kebudayaan Barat, Eropa, khususnya apa yang disebut kanon sastra adalah kumpulan puncak (masterpieces) yang mencerminkan pencapaian humanisme Eropa, sejak Yunani Purba sampai modernisme abad ke-20. Karya-karya kanonik yang sangat mewarnai system pendidikan di Barat, dapat dianggap simbol keperkasaan budaya kulit putih. Dalam kehidupan seni dan intelektual, kanon itu merupakan landasan yang kokoh dan tradisi yang hidup bagi pencipta karya selanjutnya.
Marilah kita lihat apa yang pernah terjadi pada sastra Indonesia. Kita dapat mempertanyakan, mengapa Datuk Maringgih, watak jahanam dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, ternyata membelot terhadap Belanda. Dia bukan saja jahat terhadap sesamanya, juga menolak membayar kepada penjajah Belanda. Lalu, mengapa pula, Samsul Bahri, watak yang sangat simpatik dalam novel ini, ternyata kemudian menjadi serdadu kompeni antek Belanda. Mereka berdua, akhirnya salilng membunuh.
Karena Belanda mendirikan penerbit Balai Pustaka, satu-satunya penerbit resmi pada waktu itu, maka kanon sastra pun ditentukan oleh kebijakan Balai Pustaka. Sekian banyak karya sastra di luar penerbitan Balai Pustaka pada waktu itu dianggap tidak resmi, dank arena itu tersingkirkan dari sastra. Serangkaian penelitian mengenai novel-novel tidak resmi ini menunjukkan, ada juga karya sastra di luar Balai Pustaka yang sebetulnya baik, bahkan lebih baik daripada novel-novel Balai Pustaka.
Bagaimana pun, kanon sastra yang tidak naïf adalah melayani keperluan spesifik bagi pembelajar dan pengajar sastra. Seperti anggapan-anggapan sebelumnya, adanya stratifikasi sastra Indonesia yang sangat jelas mendiskriminasikan sastra, pada masa penjajahan Belanda kemudian diwariskan di masa Orde Baru, menunjukkan pembatasan secara keras sastra Indonesia. Mengapa karya-karya Pramoedya Ananta Toer dijegal, dan diharamkan untuk dijadikan bahan Pengajaran sastra pada waktu itu?
Padahal, karya sastra Pramoedya Ananta Toer ibarat merek yang memberi jaminan mutu pada kualitas karya sastra. Puluhan bahkan ratusan penghargaan dalam dan luar negeri telah mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan kawakan Indonesia. Pada zaman Orde Baru, Pram sempat mendekam dalam pengapnya penjara selama bertahun-tahun. Karyanya dianggap melukai hati penguasa Orba terlebih.
Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya seringkali juga melatarbelakangi ceritanya dalam paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia yang telah dipaparkan di masa lalu memang sangat ditentukan bukan hanya politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tidak dapat diajarkan di sekolah.
Dengan demikian, sastra Indonesia dihadirkan tidak berpeta. Dapat dilihat pada pembelajaran sastra di sekolah dasar dan menengah. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagai guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Inilah pentinganya kerangka acuan tersebut. Pengajaran sastra membutuhkan peta untuk kerangka acuan yang bertujuan untuk melihat kenyataan di dalam teks sastra, sehingga membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapa pun tidak terlepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk pembelajaran sastra baik dalam kelas formal maupun tidak
Posisi novel “Totem” sebagai Novel Populer di tengah Arus Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dan pluralisme budaya demokratis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antar-etnis, antara suku bangsa dan antar budaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan posisi setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragaman.
Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praktis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra modern Indonesia. Problem dasar pada waktu itu yaitu, ketika hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usaha membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta.
Sekedar mengulas, bahwa novel “Totem” karya D. Jayadikarta yang terbit sekitar tahun 2006 oleh Bentang dimasukkan dalam kotak roman picisan karena kepentingan politik pada masa itu. Dan, karena isinya mengenai kebobrokan moral bangsa pada Mei 1998. Namun novel yang dikatakan roman picisan ini mempunyai nilai-nilai multikultural yang kuat. Percampuran budaya antara budaya Bali, Jawa, dikombinasikan menjadi cerita yang utuh. Bushido yang diceritakan dalam novel ini melambangkan kebejatan serdadu pemerintah, dan Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi korban kebejatannya. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini ketika dunia memasuki pengaburan batas geografis, justru totem dengan warna lokalnya ikut menjadi identitas yang bernilai politis.
Di negeri ini, orang tak bebas bicara, tak bebas bertindak. Siapa yang lemah akan binasa, terinjak-injak raksasa penguasa, tergilas mesin-mesin industri. Begitulah kesimpulan dari cerita Totem. Lebih jauh lagi, enam orang sahabat dalam cerita ini tidak bias tinggal diam, mereka berupaya menggeliat bangun dan menyuarakan kebenaran. Mereka pun terjebak dalam petualangan menegangkan yang melibatkan triad dan oknum-oknum pemerintah, yang kejam dan tak kenal ampun. Dan mereka dihantui oleh sosok misterius yang menyebut dirinya sebagai Totem, yang hadir dalam dunia maya, namun bias menguntit tiap langkah yang mereka ambil, dan menyibak rahasia masa lalu mereka. Tika, Ayudia, Ronald, Sasa, Michelle, dan Tisna harus bekerja sama memecahkan misteri yang menaungi Totem, bergulat mempertanyakan keyakinan diri masing-masing, sekaligus terus berlari dari orang-orang yang mengejar dan ingin menghabisi mereka. Mereka mencari arti dari sepenggal masa lalu, arti kuasa yang satu, dan mereka pun belajar melupakan, juga memaafkan.
Kerumitan cerita diuraikan dengan alur filmis, ke masa lalu dan masa sekarang, dalam kemasan setting di berbagai belahan dunia dan penggalan waktu yang kompleks. Dari berbagai sumber yang diperoleh didapat informasi bahwa novel ini merupakan pengalaman pribadi si pengarang. D. Jayadikarta pernah bekerja di sebuah manufakturing di Bandung, dan novel ini banyak terinspirasi dari pengalaman-pengalamannya selama bekerja di sana.
Multikulturalisme dalam totem terbentuk dari tiap-tiap potongan alur cerita. Seperti pada awal cerita terdapat istilah-istilah jawa yang berupa kata yang pendek seperti istilah Jawa, “Niladruka, Mustika Maharani, lobrok, montor keblak, dan banyak lagi yang istilah lain. Selain itu, ikut terdapat juga kalimat dalam bahasa Inggris yang ditampilkan lewat percakapan antara Ayudia dan Ronald Algate, suaminya.
Perlukah Novel Populer seperti Totem Menjadi Bahan Pengajaran di Sekolah?
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa untuk melegitimasikan sebuah sastra dalam dunia pendidikan tidaklah mudah. Karya sastra tersebut harus disahkan atau dikanonkan. Karya tersebut harus lulus sensor dari pemerintah tentunya. Hal-hal yang pasti merugikan pemerintah bahkan merusak wibawa pemerintah senantiasa dihindari meskipun karya tersebut bermutu tinggi.
Seperti yang dialami pada karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer, dan mengapa penerbit yang dikuasai pemerintah tak sudi menerbitkan karya-karyanya. Sampai saat ini, karya-karya tersebut belum dijamah oleh dunia pendidikan, dan pengajar secara khususnya merasa segan untuk mengambil karya-karya yang demikian itu untuk dikaji. Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi sastra? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwa-fatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A. Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri baru menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana sastra Indonesia 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi tugas pengajar untuk bias menampilkan wajah sastra Indonesia selengkap mungkin. Dan, kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi factor politik cukup besar pengaruhnya. Ini misalnya, bias kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin. Setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, factor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar yang menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap.
Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca karya-karya puncak yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.
Problematika yang dihadapi dalam dunia sastra ialah bagaikan sebuah uang logam yang mempunyai sisi-sisi yang berbeda. Sisi nominal menggambarkan nilai estetika karya sebagai karya sastra, sisi lambang garuda ialah peraturan pemerintah dan konvensi yang telah disepakati pemerintah. Untuk mendobraknya kita memerlukan kehadiran H.B. Jassin-H.B. Jassin yang baru dalam kancah dunia kritik sastra Indonesia agar karya-karya bermutu seperti novel Totem dan karya-karyanya Pramoedya mendapat tempat khusus dalam pengajaran sastra di sekolah.
Daftar Rujukan:
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984.
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004.
Dewanto, Nirwan.Dalam Bayangan Kanon Sastra. Kompas 25 Januari 1995 hlm.17
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan. 1988.
_____. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera. 2001a
_____. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. 2001b.
Heryanto, Ariel. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. 1985.
_____. .Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir dalam Prisma . Jakarta: LP3ES. No. 8 Tahun XVII. 1988.
Jayadikarta, D. Totem. Yogyakarta: Bentang. 2006.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia. 1993.
Mahayana, Maman S. Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta:Bening Publishing. 2005.
Mohamad, Goenawan, Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Pradopo, Rachmat Djoko. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Sobary, Mohammad. Kebudayaan Rakyat. Yogyakarta: Bentang. 1996.
Sumardjo, Jakob. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1982.
Teeuw, A. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan. 1952.
Rabu, 17 Juni 2009
Kamis, 28 Mei 2009
laporan seminar di UI
PEREMPUAN WALIKOTA KARYA SURYATATI
Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kembali mengadakan seminar sastra, kali ini bekerjasama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Yayasan Panggung Melayu dalam acara Peluncuran, Diskusi Buku, dan Pentas Puisi Perempuan Walikota Karya Suryatati yang diselenggarakan pada hari Rabu, 27 Mei 2009, Pukul 13.00-17.00 WIB di FIB-UI, Depok.
Buku ke-2 kumpulan puisi penulis yang berjudul “Perempuan Walikota” ini merupakan ungkapan rasa seorang perempuan terhadap pandangan maupun perlakuan yang diterimanya selama mengemban tugas sebagai Kepala Daerah di sebuah Kota Otonom yang berumur masih dibawah 10 tahun, namun kehidupan di kota itu sendiri sudah dikenal sejak 1784 yang lalu.
Dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis tak terbatas, dari masyarakat yang ramah menjadi pemarah, dari masyarakat yang manut menjadi masyarakat yang kepincut, dari masyarakat yang suka bergotong royong yang mulai mengarah ke masyarakat yang individualis ikut mempengaruhi Gaya Kepemimpinan seseorang.
Oleh sebab itu, sebagai ragam kejadian yang rasanya tak mungkin terjadi di waktu Orde Baru dapat menjadi era Reformasi. Tentu ada dampat positif dan negatifnya bergantung kepada diri kita sendiri untuk memetik hikmahnya.
Dari beragam peristiwa, sikap dan perilaku yang penulis amati tersebutlah buku kumpulan puisi ini coba merekamnya melalui rangkaian kata demi kata yang terjalin dan berpilin yang kadang-kadang ada yang sedikit nyeleneh.
Dalam acara ini juga dihadiri oleh penulis berbagai buku sastra, Maman S Mahayana sebagai moderator dan Tommy F Awuy, seorang dosen di FIB-UI, sebagai pembicara.
Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kembali mengadakan seminar sastra, kali ini bekerjasama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Yayasan Panggung Melayu dalam acara Peluncuran, Diskusi Buku, dan Pentas Puisi Perempuan Walikota Karya Suryatati yang diselenggarakan pada hari Rabu, 27 Mei 2009, Pukul 13.00-17.00 WIB di FIB-UI, Depok.
Buku ke-2 kumpulan puisi penulis yang berjudul “Perempuan Walikota” ini merupakan ungkapan rasa seorang perempuan terhadap pandangan maupun perlakuan yang diterimanya selama mengemban tugas sebagai Kepala Daerah di sebuah Kota Otonom yang berumur masih dibawah 10 tahun, namun kehidupan di kota itu sendiri sudah dikenal sejak 1784 yang lalu.
Dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis tak terbatas, dari masyarakat yang ramah menjadi pemarah, dari masyarakat yang manut menjadi masyarakat yang kepincut, dari masyarakat yang suka bergotong royong yang mulai mengarah ke masyarakat yang individualis ikut mempengaruhi Gaya Kepemimpinan seseorang.
Oleh sebab itu, sebagai ragam kejadian yang rasanya tak mungkin terjadi di waktu Orde Baru dapat menjadi era Reformasi. Tentu ada dampat positif dan negatifnya bergantung kepada diri kita sendiri untuk memetik hikmahnya.
Dari beragam peristiwa, sikap dan perilaku yang penulis amati tersebutlah buku kumpulan puisi ini coba merekamnya melalui rangkaian kata demi kata yang terjalin dan berpilin yang kadang-kadang ada yang sedikit nyeleneh.
Dalam acara ini juga dihadiri oleh penulis berbagai buku sastra, Maman S Mahayana sebagai moderator dan Tommy F Awuy, seorang dosen di FIB-UI, sebagai pembicara.
Tentang Novel Populer Indonesia
a. Historis
Historis novel populer dimulai pada tahun 1890-an. Berawal dari nama cerita ‘roman medan’. Dikotonom tersebut memiliki unsur-unsur bahasa yang mudah dicerna atau disebut pada saat itu dengan bahasa pasaran. Penulisnya merupakan bukan asli keturunan Indonesia melainkan Cina campuran.
‘Sobat anak-anak’ menjadi karya pertama dalam karya populer yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Konsumen karya tersebut terbatas hany dikalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9.2) Dikotonomi semula diubah dengan nama Roman Pitjisan.
Konotasi sedikit negatif menjadi interpretasi awal bagi pembacanya.pada saat itu sehingga kurangnya perhatian terhadap sastra populer. Akibatnya para peneliti juga kurang meminati karya-karya sastra populer sebagai bahan objek penelitian. Bahkan satu peilaian negatif untuk karya populer adalah kurang bermutu dalam segi isi.
Dikotonomi antara novel populer dengan novel sastra adalah novel serius dan novel tidak serius. Hal ini dapat dilihat dari isinya. Novel sastra lebih bertendensi terhadap suatu ideologi, sementara novel populer atau novel tidak serius mengalami monoton tema, yakni berada dalam ruang seks, cinta, keluarga, dan problematika sekolah atau kampus. Tetapi memperbandingkan novel populer dengan novel sastra merupakan hal tidak setara dalam nilai estetika. Merki pun estetika relatif dalam penilaian, ada satu kesimpulan yang khusus dalam argumentasi estetika.
Timbulnya permasalahan dari kedua dikotonomi ini seperti memberikan ruang batas terhadap kebebasan penulis. Walau pun mengkaji suatu novel sastra dengan memperbandingkan novel populer tidak secara langsung menempatkan penulis novel populer sebagai penulis yang termajinalkan. Bahkan dalam waktu aktual, novel populer berkembang lebih pesat dari pada novel sastra. Dalam suatu pengkajian karya, hal penjustisan akan muncul melihat secara komprehensif didalam prosesnya.
Dalam historis, novel populer fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970-an misalnya muncul karya Ali Topan Anak Jalanan yang menghebohkan penikmat novel. ‘Ali Topan Anak Jalanan” seperti sebuah sihir dari penulisnya, karena mampu mengangkat konotatif novel populer menjadi positif. Sementara pada tahun 1980-an merupakan tahun kejayaan kedua pasca kemerdekaan bagi penulis dan penikmat novel populer dengan hadirnya sebuah karya berjudul ‘Lupus’. Namun seiring dengan waktu, pada tahun 1990-an, novel populer mulai tenggelam. Hal tersebut karena mulai timbulnya televisi-televisi swasta. Memang secara ekonomi, televisi lebih ekonomis dibandingkan karya-karya berupa buku.
b. Novel populer dan pemerintah
Pada masa-masa penjajahan Belanda, banya terbitan-terbitan media cetak mendapat kontroling yang ketat oleh pemerintah. Indikasi hal tersebut dapat terlihat dari munculnya Nota Rinkes. Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, dan tidak berpolitik (Teeuw 1955:57 – 60) Hal ini membuat dunia penulis tidak ekspresif dalam segi kreatifitas penulis, bahkan untuk mencapai eksperimen. Pada zaman itu, Balai Pustaka menjadi legitimator karya-karya sastra, baik novel populer mau pun novel sastra, karya yang ingin didistribusi.
Dan, pada masa orde baru karya-krya yang didistribusi atau pencapaian ke konsumen, semakin ketat ruang geraknya oleh pemerintahan saat itu. Indkasi terlihat dari penangkapan-penangkapan sastrawan, salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya telah melanggar Nota Rinkes. Sementara itu, fiksi populer dengan sengaja dibiarkan oleh pemerintah masa lalu. Bukan saja karena wacana yang diangkat tidak mengganggu status quo, tetapi bahkan memberikan hiburan ringan kepada masyarakat agar melupakan atau lalai dari realitas sesungguhnya. Fiksi populer tidak mengondisikan masyarakat untuk bersikap kritis. Kalau sikap kritis itu ada, hal itu tidak lebih sebagai ajang kompromi secara imajinasi. Pada posisinya yang lain, sastra populer tidak lebih sebagai ajang komoditas belaka, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan menempatkan penulis sebagai buruh serta masyarakat sebagai pasar
sastra populer cenderung menjual keinginan dan mimpi, masyarakat dieksplitasi untuk mengonsumsi sesuai dengan selera impian yang sedang ngetrend. Dan pada gilirannya yang terjadi adalah bahwa mimpi-mimpi itu tidak lebih sebagai komoditas belaka. Asumsi bahwa sastra populer pada akhirnya tidak lebih sebagai komoditas ini merupakan salah satu keberatan lain terhadap merebaknya sastra populer. Masyarakat hanya dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal, para penulis tidak lebih sebagai buruh.
Historis novel populer dimulai pada tahun 1890-an. Berawal dari nama cerita ‘roman medan’. Dikotonom tersebut memiliki unsur-unsur bahasa yang mudah dicerna atau disebut pada saat itu dengan bahasa pasaran. Penulisnya merupakan bukan asli keturunan Indonesia melainkan Cina campuran.
‘Sobat anak-anak’ menjadi karya pertama dalam karya populer yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Konsumen karya tersebut terbatas hany dikalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9.2) Dikotonomi semula diubah dengan nama Roman Pitjisan.
Konotasi sedikit negatif menjadi interpretasi awal bagi pembacanya.pada saat itu sehingga kurangnya perhatian terhadap sastra populer. Akibatnya para peneliti juga kurang meminati karya-karya sastra populer sebagai bahan objek penelitian. Bahkan satu peilaian negatif untuk karya populer adalah kurang bermutu dalam segi isi.
Dikotonomi antara novel populer dengan novel sastra adalah novel serius dan novel tidak serius. Hal ini dapat dilihat dari isinya. Novel sastra lebih bertendensi terhadap suatu ideologi, sementara novel populer atau novel tidak serius mengalami monoton tema, yakni berada dalam ruang seks, cinta, keluarga, dan problematika sekolah atau kampus. Tetapi memperbandingkan novel populer dengan novel sastra merupakan hal tidak setara dalam nilai estetika. Merki pun estetika relatif dalam penilaian, ada satu kesimpulan yang khusus dalam argumentasi estetika.
Timbulnya permasalahan dari kedua dikotonomi ini seperti memberikan ruang batas terhadap kebebasan penulis. Walau pun mengkaji suatu novel sastra dengan memperbandingkan novel populer tidak secara langsung menempatkan penulis novel populer sebagai penulis yang termajinalkan. Bahkan dalam waktu aktual, novel populer berkembang lebih pesat dari pada novel sastra. Dalam suatu pengkajian karya, hal penjustisan akan muncul melihat secara komprehensif didalam prosesnya.
Dalam historis, novel populer fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970-an misalnya muncul karya Ali Topan Anak Jalanan yang menghebohkan penikmat novel. ‘Ali Topan Anak Jalanan” seperti sebuah sihir dari penulisnya, karena mampu mengangkat konotatif novel populer menjadi positif. Sementara pada tahun 1980-an merupakan tahun kejayaan kedua pasca kemerdekaan bagi penulis dan penikmat novel populer dengan hadirnya sebuah karya berjudul ‘Lupus’. Namun seiring dengan waktu, pada tahun 1990-an, novel populer mulai tenggelam. Hal tersebut karena mulai timbulnya televisi-televisi swasta. Memang secara ekonomi, televisi lebih ekonomis dibandingkan karya-karya berupa buku.
b. Novel populer dan pemerintah
Pada masa-masa penjajahan Belanda, banya terbitan-terbitan media cetak mendapat kontroling yang ketat oleh pemerintah. Indikasi hal tersebut dapat terlihat dari munculnya Nota Rinkes. Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, dan tidak berpolitik (Teeuw 1955:57 – 60) Hal ini membuat dunia penulis tidak ekspresif dalam segi kreatifitas penulis, bahkan untuk mencapai eksperimen. Pada zaman itu, Balai Pustaka menjadi legitimator karya-karya sastra, baik novel populer mau pun novel sastra, karya yang ingin didistribusi.
Dan, pada masa orde baru karya-krya yang didistribusi atau pencapaian ke konsumen, semakin ketat ruang geraknya oleh pemerintahan saat itu. Indkasi terlihat dari penangkapan-penangkapan sastrawan, salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya telah melanggar Nota Rinkes. Sementara itu, fiksi populer dengan sengaja dibiarkan oleh pemerintah masa lalu. Bukan saja karena wacana yang diangkat tidak mengganggu status quo, tetapi bahkan memberikan hiburan ringan kepada masyarakat agar melupakan atau lalai dari realitas sesungguhnya. Fiksi populer tidak mengondisikan masyarakat untuk bersikap kritis. Kalau sikap kritis itu ada, hal itu tidak lebih sebagai ajang kompromi secara imajinasi. Pada posisinya yang lain, sastra populer tidak lebih sebagai ajang komoditas belaka, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan menempatkan penulis sebagai buruh serta masyarakat sebagai pasar
sastra populer cenderung menjual keinginan dan mimpi, masyarakat dieksplitasi untuk mengonsumsi sesuai dengan selera impian yang sedang ngetrend. Dan pada gilirannya yang terjadi adalah bahwa mimpi-mimpi itu tidak lebih sebagai komoditas belaka. Asumsi bahwa sastra populer pada akhirnya tidak lebih sebagai komoditas ini merupakan salah satu keberatan lain terhadap merebaknya sastra populer. Masyarakat hanya dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal, para penulis tidak lebih sebagai buruh.
Faruk HT: Sastra Bukan Tempat Sunyi Lagi
Sastra Islami dalam beberapa tahun belakang ini sedang laku keras. Apakah fenomena sastra islami akan mengukuhkan genre yang kuat dalam dunia sastra Indonesia atau sekadar tren?
faruk htDr. Faruk, S.U., kritikus Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai sastra islami sebagai karya populer. Yang disebut sastra populer di Indonesia, kata Faruk, agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama.
Sastra dewasa ini dalam pandangan Faruk, cenderung ke arah kolaboratif. Sastra sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan.
Faruk HT saat ini mengajar di almamaternya Jurusan Sastra Indonesia UGM. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM. Faruk telah menulis sejumlah buku. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra (1989), Pengantar Sosiologi Sastra (1993), Pertarungan Tak Kunjung Usai (1995), Hilangnya Pesona Dunia (1999), Women Womeni Lupus (2000), dan Beyond Imagination (2001). Muhamad Sulhanudin dan Wiwik Hidayati mewawancarainya pada Juni 2007 di Gadjah Mada Medical Centre (GMC).
Bagaimana pandangan anda mengenai pesan moral dalam karya sastra?
Kalau kita mendengarkan lagu-lahgu Jawa, tembang-tembang moral, itu isinya pesan-pesan moral, dan itu tak ada masalah. Dalam konteks sastra modern agak berisiko kalau banyak pesan moralnya. Orang sekarang lebih suka hiburan daripada banyak ajaran. Bahkan sebenarnya banyak ajaran yang disampaikan dengan menghibur. Ini juga masalah. Masalahnya, apakah sejenis dakwah yang berisi hiburan, atau sejenis sastra yang diisi dakwah. Kalau dia sejenis dakwah yang disampaikan dengan hiburan, ini artinya degradasi. Sebenarnya bukan apakah sastra perlu moral, tapi apakah dakwah perlu mengibur. Itu bukan kemajuan, tapi kemunduran bagi dakwah.
Masalahnya bagi karya sastra?
Itu problematik. Dia bisa dimasukkan dalam kategori sastra pop. Ini tren. Tapi yang paling penting bahwa masyarakat Indonesia mayoritas islam dalam tanda petik. Banyak islamnya. Yang namanya sastra populer di Indonesia otomatis agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama. Jadi bagaiamana agama itu menjadi komoditas.
Lalu, jika dakwah disampaikan dalam medium sastra?
Sekarang dakwah itu macam-macam. Ada Aa Gym, Bukhori, semuanya itu dakwah. Problemnya itu bukan di sastra, tapi di dakwah.
Dalam fiksi islami yang diusung oleh Forum Lingkar Pena ada pembatasan eksplorasi seks. Apakah dalam sastra memang mengenal pembatasan, misalnya tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dianggap tabu?
Dalam sastra tidak mengenal tabu. Kalau dalam FLP ada perdebatan seperti itu, berarti itu tabu dalam islam, bukan dalam sastra. Dalam sastra pengarang bebas saja.
Kalau pengarang bebas, bagaimana dengan tanggungjawab penulis terhadap karyanya?
Penulis tidak ada tanggungjawab. Tanggung jawab penulis adalah berkarya. Kalau dia tidak berkarya, berarti dia tidak bertanggunjawab.
Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya menyebut pengarang turut andil dalam kebrobrokan di masyarakat. Itu akibat karyanya yang banyak mengeksplotasi seks?
Nggak ada hubungannya kebobrokan masyarakat dengan karya seks. Kalau Aa’ Gym gimana? Taufik Ismail menganggap itu bobrok, bagi saya nggak ada maslaah. Tergantung siapa yang memandang. Itu korelatif. Penemuan-penemuan cara ber-sek, penemuan-penemuan untuk merangsang berbirahi, kalau tak ada itu, 90% laki-laki impoten. Keluarga jadi bubrah karena laki-laki tak bisa bergairah, perempuan nggak bergairah. Mereka memerlukan nonton video prono biar bergairah lagi. Daripada keluarga bercerai, lebih baik nonton video porno.
Apakah anda sepakat dengan pelabelan sastra islami? Adakah kajian khusus dalam dunia akademik mengenai sastra islami ini?
Labelling itu untuk jualan. Secara konseptual saya kira itu lebih dekat denga dakwah. Pelabelan itu hanya orang jualan. Islam itu pasar. Dakwah itu jualan. Kalau dalam dunia akademis untuk soal itu, kajiannya lebih bersifat sosiologis, bukan estetik.
Apakah sastra islami itu lantas hanya sekadar tren?
Ya, itu tren sesaat. Di indonesia, itu ciri khas. Semua cepat berubah. Orang gampang bosan. Apalagi sekarang zaman media elektronik, televisi. Cepat sekali orang gampang berubah. Periodisasi sastra di Indonesia paling lama hanya 10 tahun. Itu hanya angin lewat. Itu berulang-ulang. Hal yang sama, seperti orang seminar, temanya diulang-ulang. Yang berubah bentuknya, isinya sama. Tempatnya saja yang berubah, bentuknya sama. Kalau sebelumnya dari TV, pindah ke musik, pindah ke yang lain lagi. Sama saja.
Anda tadi menyebut sastra islami atau sastra dakwah itu sebagai karya populer. Karya populer dalam hal ini seperti apa?
Populer dalam arti menjangkau publik yang lebih luas. Yang tidak populer, itu punya publik sendiri. Publik yang lebih sedikit. Kecil. kalanganya elit.
Bagaimana apresiasi para kritikus sastra terhadap karya populer semacam itu?
Apresiasi itu bentuknya bermacam-macam. Ada apresiasi berupa pujian kritikus. Ada apresiasi dalam bentuk orang membeli buku. Orang membeli itu juga memberi apresiasi. Targetnya beda-beda. Target audiensnya beda, bentuk apresiasnya berbeda.
Apakah mungkin sebuah karya populer akan dipuji oleh kritikus sastra?
Karya populer yang mendapat pujian, bisa juga. Apalagi kalau kritikusnya dibayar. Sekarang bukan pada orangn atau karyanya, tapi pada besar kecil honornya. Sekarang pada umumnya karya yang diterbitkan oleh penerbit besar, akan mendapatkan pujian. Tergantung honornya.
Kritik yang bagus seharusnya yang seperti apa?
Kritik yang merangsang diskusi
Kalau karya populer banyak diapresiasi masyarakat, tapi kenapa kritikus kurang mengapresiasinya?
Kritikus sendiri. Audiens sendiri. Orang bangga dengan dirinya sendiri. Yang penting orang jangan serakah. Sudah laku pengen dibicarakan kritikus. Orang itu punya tempatnya sendiri. Itu sudah satu kelompok sendiri. Pembaca itu kritikus sendiri. Yang membaca sastra itu sesama sastrawan. Kategori pembaca sastra itu sekarang gelap. Kategori pembaca di dalam konteks karya sastra itu lebih tepat mengarah ke sastra populer daripada sastra yang disebut serius. Sastra serius itu persoalannya di seputar kritikus. Ia membangun duniaya sendiri. Dan pembaca dalam lingkaran sastra, kawanya sendiri. Dunia kritikus dan pembaca dalam konteks elitis, ya itu saja. Dalam lingkungan sastrawan sendiri. Kadang mereka berdebat, berkelahi.
Kalau sebuah karya sastra hanya diapresiasi oleh kritikus atau kalangan elit, apakah itu tidak terkesan ekslusif?
Mau ekslusif ya karepe, mau tidak ya karepe, kenapa sih kok repot banget. Biarin saja. Jangan meminta orang yang ekslusif untuk tidak ekslusif. Jangan meminta orang yang tidak ekslusif, untuk ekslusif. Kalau ada yang memprotes ekslusif, buat saja yang tidak ekslusif. Jalannya sendiri. Nggak ada masalah. Orang sekarang sudah harus bisa toleran terhadap perbedaan, pilihan dan sebagainya.
Bagaimana anda melihat kecenderungan sastra belakangan ini?
Sastra itu sekarang kolaboratif. Berkolaborasi dengan musik, pembacaan, pementasan, diskusi launching. Sastra kelihatanya sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan. Arahnya semua ke sana. Yang serius dan yang tak serius arahnya sama. Mencoba menghilangkan skat-skat.
Apakah dengan begitu sastra akan kehilangan esensinya?
Bisa juga. Tapi nggak ada masalah. Mau hilang ya hilang, mau nggak ya silakan.
Menurut anda, apakah karya yang muncul pada periode ini akan bertahan lama?
Nggak ada sastra yang bertahan sampai lama. Lagu-lagu pop bertahan sampai lama. Lagu nostalgia itu, tahun 50an, tahun 60an. Haryati… Karya sastra itu muncul tenggelam. Chairil Anwar kadang orang lupa, kadang inget lagi. Sama saja. Sastra sekarang, sastra dulu, sama saja akan timbul tenggelam. Bentuk, pilihan jalannya sama. Tak ada perubahan yang signifikan.
Ada sastrawan yang mengatakan problem dalam dunia sastra Indonesia sekarang karena kurangnya kritikus?
Nggak usah berharap banyak dari kritikus. Kritik saja sendiri. Sesama sastrawan kan saling mengkritik. Saingannya sastra, ya ekspresi seni yang lain. Misalnya televisi. TV itu audio visual. Lain dengan era cetak, yang jadi raja ya sastra. Lain dengan era audio visual. Di era audio visual yang jadi raja bukan lagi sastra, tapi teater, pertunjukan. Sastra itu wakil dari masyarakat aksara. Sekarang masyarakatnya sudah elektronik.
Dengan begitu apa sastra Indonesia tidak punya masa depan?
Sastra yang mau kuat itu sementara di televisi. Kalau mau banyak, televisi. Kalau mau kuat dalam arti banyak. Kalau kuat tidak dalam arti banyak, sedikit itu sudah kuat. Berdua saja itu banyak.****
faruk htDr. Faruk, S.U., kritikus Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai sastra islami sebagai karya populer. Yang disebut sastra populer di Indonesia, kata Faruk, agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama.
Sastra dewasa ini dalam pandangan Faruk, cenderung ke arah kolaboratif. Sastra sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan.
Faruk HT saat ini mengajar di almamaternya Jurusan Sastra Indonesia UGM. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM. Faruk telah menulis sejumlah buku. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra (1989), Pengantar Sosiologi Sastra (1993), Pertarungan Tak Kunjung Usai (1995), Hilangnya Pesona Dunia (1999), Women Womeni Lupus (2000), dan Beyond Imagination (2001). Muhamad Sulhanudin dan Wiwik Hidayati mewawancarainya pada Juni 2007 di Gadjah Mada Medical Centre (GMC).
Bagaimana pandangan anda mengenai pesan moral dalam karya sastra?
Kalau kita mendengarkan lagu-lahgu Jawa, tembang-tembang moral, itu isinya pesan-pesan moral, dan itu tak ada masalah. Dalam konteks sastra modern agak berisiko kalau banyak pesan moralnya. Orang sekarang lebih suka hiburan daripada banyak ajaran. Bahkan sebenarnya banyak ajaran yang disampaikan dengan menghibur. Ini juga masalah. Masalahnya, apakah sejenis dakwah yang berisi hiburan, atau sejenis sastra yang diisi dakwah. Kalau dia sejenis dakwah yang disampaikan dengan hiburan, ini artinya degradasi. Sebenarnya bukan apakah sastra perlu moral, tapi apakah dakwah perlu mengibur. Itu bukan kemajuan, tapi kemunduran bagi dakwah.
Masalahnya bagi karya sastra?
Itu problematik. Dia bisa dimasukkan dalam kategori sastra pop. Ini tren. Tapi yang paling penting bahwa masyarakat Indonesia mayoritas islam dalam tanda petik. Banyak islamnya. Yang namanya sastra populer di Indonesia otomatis agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama. Jadi bagaiamana agama itu menjadi komoditas.
Lalu, jika dakwah disampaikan dalam medium sastra?
Sekarang dakwah itu macam-macam. Ada Aa Gym, Bukhori, semuanya itu dakwah. Problemnya itu bukan di sastra, tapi di dakwah.
Dalam fiksi islami yang diusung oleh Forum Lingkar Pena ada pembatasan eksplorasi seks. Apakah dalam sastra memang mengenal pembatasan, misalnya tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dianggap tabu?
Dalam sastra tidak mengenal tabu. Kalau dalam FLP ada perdebatan seperti itu, berarti itu tabu dalam islam, bukan dalam sastra. Dalam sastra pengarang bebas saja.
Kalau pengarang bebas, bagaimana dengan tanggungjawab penulis terhadap karyanya?
Penulis tidak ada tanggungjawab. Tanggung jawab penulis adalah berkarya. Kalau dia tidak berkarya, berarti dia tidak bertanggunjawab.
Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya menyebut pengarang turut andil dalam kebrobrokan di masyarakat. Itu akibat karyanya yang banyak mengeksplotasi seks?
Nggak ada hubungannya kebobrokan masyarakat dengan karya seks. Kalau Aa’ Gym gimana? Taufik Ismail menganggap itu bobrok, bagi saya nggak ada maslaah. Tergantung siapa yang memandang. Itu korelatif. Penemuan-penemuan cara ber-sek, penemuan-penemuan untuk merangsang berbirahi, kalau tak ada itu, 90% laki-laki impoten. Keluarga jadi bubrah karena laki-laki tak bisa bergairah, perempuan nggak bergairah. Mereka memerlukan nonton video prono biar bergairah lagi. Daripada keluarga bercerai, lebih baik nonton video porno.
Apakah anda sepakat dengan pelabelan sastra islami? Adakah kajian khusus dalam dunia akademik mengenai sastra islami ini?
Labelling itu untuk jualan. Secara konseptual saya kira itu lebih dekat denga dakwah. Pelabelan itu hanya orang jualan. Islam itu pasar. Dakwah itu jualan. Kalau dalam dunia akademis untuk soal itu, kajiannya lebih bersifat sosiologis, bukan estetik.
Apakah sastra islami itu lantas hanya sekadar tren?
Ya, itu tren sesaat. Di indonesia, itu ciri khas. Semua cepat berubah. Orang gampang bosan. Apalagi sekarang zaman media elektronik, televisi. Cepat sekali orang gampang berubah. Periodisasi sastra di Indonesia paling lama hanya 10 tahun. Itu hanya angin lewat. Itu berulang-ulang. Hal yang sama, seperti orang seminar, temanya diulang-ulang. Yang berubah bentuknya, isinya sama. Tempatnya saja yang berubah, bentuknya sama. Kalau sebelumnya dari TV, pindah ke musik, pindah ke yang lain lagi. Sama saja.
Anda tadi menyebut sastra islami atau sastra dakwah itu sebagai karya populer. Karya populer dalam hal ini seperti apa?
Populer dalam arti menjangkau publik yang lebih luas. Yang tidak populer, itu punya publik sendiri. Publik yang lebih sedikit. Kecil. kalanganya elit.
Bagaimana apresiasi para kritikus sastra terhadap karya populer semacam itu?
Apresiasi itu bentuknya bermacam-macam. Ada apresiasi berupa pujian kritikus. Ada apresiasi dalam bentuk orang membeli buku. Orang membeli itu juga memberi apresiasi. Targetnya beda-beda. Target audiensnya beda, bentuk apresiasnya berbeda.
Apakah mungkin sebuah karya populer akan dipuji oleh kritikus sastra?
Karya populer yang mendapat pujian, bisa juga. Apalagi kalau kritikusnya dibayar. Sekarang bukan pada orangn atau karyanya, tapi pada besar kecil honornya. Sekarang pada umumnya karya yang diterbitkan oleh penerbit besar, akan mendapatkan pujian. Tergantung honornya.
Kritik yang bagus seharusnya yang seperti apa?
Kritik yang merangsang diskusi
Kalau karya populer banyak diapresiasi masyarakat, tapi kenapa kritikus kurang mengapresiasinya?
Kritikus sendiri. Audiens sendiri. Orang bangga dengan dirinya sendiri. Yang penting orang jangan serakah. Sudah laku pengen dibicarakan kritikus. Orang itu punya tempatnya sendiri. Itu sudah satu kelompok sendiri. Pembaca itu kritikus sendiri. Yang membaca sastra itu sesama sastrawan. Kategori pembaca sastra itu sekarang gelap. Kategori pembaca di dalam konteks karya sastra itu lebih tepat mengarah ke sastra populer daripada sastra yang disebut serius. Sastra serius itu persoalannya di seputar kritikus. Ia membangun duniaya sendiri. Dan pembaca dalam lingkaran sastra, kawanya sendiri. Dunia kritikus dan pembaca dalam konteks elitis, ya itu saja. Dalam lingkungan sastrawan sendiri. Kadang mereka berdebat, berkelahi.
Kalau sebuah karya sastra hanya diapresiasi oleh kritikus atau kalangan elit, apakah itu tidak terkesan ekslusif?
Mau ekslusif ya karepe, mau tidak ya karepe, kenapa sih kok repot banget. Biarin saja. Jangan meminta orang yang ekslusif untuk tidak ekslusif. Jangan meminta orang yang tidak ekslusif, untuk ekslusif. Kalau ada yang memprotes ekslusif, buat saja yang tidak ekslusif. Jalannya sendiri. Nggak ada masalah. Orang sekarang sudah harus bisa toleran terhadap perbedaan, pilihan dan sebagainya.
Bagaimana anda melihat kecenderungan sastra belakangan ini?
Sastra itu sekarang kolaboratif. Berkolaborasi dengan musik, pembacaan, pementasan, diskusi launching. Sastra kelihatanya sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan. Arahnya semua ke sana. Yang serius dan yang tak serius arahnya sama. Mencoba menghilangkan skat-skat.
Apakah dengan begitu sastra akan kehilangan esensinya?
Bisa juga. Tapi nggak ada masalah. Mau hilang ya hilang, mau nggak ya silakan.
Menurut anda, apakah karya yang muncul pada periode ini akan bertahan lama?
Nggak ada sastra yang bertahan sampai lama. Lagu-lagu pop bertahan sampai lama. Lagu nostalgia itu, tahun 50an, tahun 60an. Haryati… Karya sastra itu muncul tenggelam. Chairil Anwar kadang orang lupa, kadang inget lagi. Sama saja. Sastra sekarang, sastra dulu, sama saja akan timbul tenggelam. Bentuk, pilihan jalannya sama. Tak ada perubahan yang signifikan.
Ada sastrawan yang mengatakan problem dalam dunia sastra Indonesia sekarang karena kurangnya kritikus?
Nggak usah berharap banyak dari kritikus. Kritik saja sendiri. Sesama sastrawan kan saling mengkritik. Saingannya sastra, ya ekspresi seni yang lain. Misalnya televisi. TV itu audio visual. Lain dengan era cetak, yang jadi raja ya sastra. Lain dengan era audio visual. Di era audio visual yang jadi raja bukan lagi sastra, tapi teater, pertunjukan. Sastra itu wakil dari masyarakat aksara. Sekarang masyarakatnya sudah elektronik.
Dengan begitu apa sastra Indonesia tidak punya masa depan?
Sastra yang mau kuat itu sementara di televisi. Kalau mau banyak, televisi. Kalau mau kuat dalam arti banyak. Kalau kuat tidak dalam arti banyak, sedikit itu sudah kuat. Berdua saja itu banyak.****
Sastra dan E(ste)tika Massa (YASRAF AMIR PILIANG)
Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya, antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Dalam dunia sastra, khususnya, ada pertentangan antara "sastra tinggi" dan "sastra rendah". Metafora spasial macam ini dalam sastra digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara bentuk-bentuk sastra yang dianggap mempunyai nilai-nilai "luhur" (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang mempunyai nilai-nilai "bawah" (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan).
Perkembangan industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya "sastra massa" atau "sastra populer", yaitu bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika, dan selera orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari "industri budaya" (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas. Ada semacam proses "kapitalisasi", ketika sastra "dengan sengaja atau tak disengaja" menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah "komodifikasi budaya" (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian "industri budaya" telah mengkhawatirkan kalangan kritikus akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut memengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami, dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa.
Perkembangan bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa, dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penilaian, dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, kritikus) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yang "baik" dan yang "buruk".
Ada pula persoalan bagaimana bentuk-bentuk sastra itu dipertanggungjawabkan secara sosial, kultural, moral, bahkan spiritual. Bentuk-bentuk sastra yang membawa pesan moral, ideologi, atau agama tertentu (misalnya sastra Islami), mendapatkan tantangan untuk mampu memperlihatkan landasan estetik-etiknya (ethico-aesthetic). Berbeda dengan sastra populer yang tidak membawa nama moral, ideologi, atau agama tertentu, sastra populer "ideologis" atau "agamis" harus mampu memperlihatkan pemikiran moral ini karena bentuk-bentuk sastra itu menempatkan dirinya sebagai "representasi" nilai-nilai sosial, moral, ideologi, atau spiritual-keagamaan itu sendiri.
Ideologi popularisme
Ada relasi yang tidak dapat dipisahkan antara perkembangan industrialisasi (kapitalisme) dan apa yang disebut sebagai budaya massa (mass culture). Budaya massa adalah sebuah budaya yang berkembang seiring perkembangan industrialisasi. Sebagai bentuk produksi massa, budaya massa diproduksi untuk massa yang luas, berbeda dengan "budaya elite" (elite culture) yang hanya dikonsumsi elite kebudayaan tertentu.
Kata "massa" pada istilah "budaya massa" mempunyai konotasi positif sekaligus negatif. Istilah ini dikaitkan dengan persoalan derajat atau status tertentu dalam kebudayaan. Dalam pengertiannya yang lebih netral, "budaya massa" diartikan sebagai sinonim dari "budaya rakyat kebanyakan" (culture of people).
Terdapat tiga sikap berbeda terhadap budaya populer. Pertama, pandangan "modernis", yang melihat budaya populer sebagai bentuk kebudayaan yang merusak keluhuran budaya tinggi. Kedua, "posmodernis radikal", yang memberi ruang seluas-luasnya bagi budaya populer untuk berkembang sejajar dengan bentuk-bentuk budaya (tinggi) dalam iklim demokratisasi dan relativisme kebudayaan. Ketiga, "posmodernis pluralis" atau "kritis", yang mengakui ruang hidup bagi budaya massa, dalam skema pengakuan akan pluralisme budaya, akan tetapi menuntut tanggung jawab estetik, etik, sosial, dan kulturalnya.
Menolak sastra populer
Para pendukung modernisme, Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan W.F. Haug, menolak sastra dan budaya populer karena dibangun berdasarkan prinsip "industri budaya" (culture industry), yaitu kebudayaan yang diproduksi berdasarkan prinsip-prinsip dasar industri dan komoditas, yang tidak mendorong ke arah "pencerahan" (enlightenment). "Sastra populer", sebagai bagian "industri budaya" adalah sastra yang dikonstruksi sekelompok elite dari atas (elite penulis, produser, penerbit, pengiklan), tetapi sering mengatasnamakan rakyat, untuk membedakannya dari budaya rakyat.
"Sastra tinggi" adalah sastra yang mempunyai standar (kualitas, estetik, selera) yang tinggi, yang diciptakan berdasarkan kemampuan kreativitas dan daya inovasi yang tinggi sehingga selalu menghasilkan sesuatu yang baru (newness), yang belum ada sebelumnya. Ia adalah sastra yang dilandasi semangat kemajuan (progress), yaitu semangat penemuan terus-menerus wilayah-wilayah baru kebudayaan. Sebaliknya, "sastra populer" adalah sastra yang mempunyai standar kualitas selera yang rendah, yang hanya mengulang dan mengimitasi apa yang telah ada sebelumnya.
Sastra massa diproduksi sekelompok elite (penulis, produser, distributor) yang mencari segala cara agar karyanya diterima oleh massa luas dengan mengutamakan motif keuntungan. Karya sastra itu kini menjadi bagian dari industri kebudayaan, yang menghasilkan karya-karya yang memenuhi "selera massa". Selera itu tidak berasal dari massa, tetapi dikonstruksi untuk mereka oleh para elite produser.
Sastra populer membangun sebuah kategori estetik yang komersial, yang oleh W.F. Haug disebut sebagai "estetika komoditi" (commodity aesthetics), yaitu estetika yang melaluinya bentuk-bentuk estetik diciptakan berlandaskan motif daya tarik, keterpesonaan (eye catching) dan perhatian massa konsumer semata, dengan mengangkat berbagai bentuk daya pesona (fetishism) untuk memenuhi hasrat rendah (desire) pembaca. Sastra macam ini tidak terlalu mementingkan logika dari sebuah ekspresi, demi merayakan daya pikat dan daya pesona.
Para pemikir modernis menolak mentah-mentah eksistensi sastra dan budaya populer. Mereka ingin menjaga sifat-sifat luhur dan otonom dari apa yang disebut "pencerahan murni" modernisme. Penyucian sastra dan budaya tinggi adalah dengan melepaskannya dari cengkeraman pengaruh industrialisasi, komersialisasi, dan komodifikasi budaya, khususnya dari pengaruh estetika komoditi kapitalisme. Kaum modernis menolak sastra populer karena dianggap lebih mengutamakan penampakan luar, sifat permukaan, kekuatan menghibur, daya pesona, dan tidak terlalu memedulikan kedalaman makna. Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung argumentasi logis sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.
Merayakan sastra
populer
Sebaliknya dari kaum modernis, kaum "posmodernis radikal" justru mengakui sastra dan budaya massa sebagai bentuk ekspresi yang legitimated. Posmodernisme radikal ingin mendekonstruksi benteng pemisah budaya tinggi/budaya rendah sehingga dapat diciptakan sebuah ruang "heterogenitas sastra", dapat dihidupkan sastra-sastra pinggiran dan budaya rakyat yang sebelumnya ditolak modernisme, dengan sekaligus menolak segala bentuk pertentangan, oposisi biner, dan hierarki budaya.
Dengan mendekonstruksi tembok pemisah budaya tinggi dan budaya rendah, klaim oposisi biner tinggi/rendah, elite/populer, luhur/murahan, seni/kitsch, indah/tidak indah tidak lagi relevan. Posmodernisme radikal menuntut dekonstruksi besar-besaran konsep "sastra" dan "kebudayaan" yang tak hanya mengakui "karya luhur" atau "masterpiece", tetapi juga segala bentuk sastra dan budaya yang selama ini dipinggirkan dan direndahkan.
"Popularitas" menurut Fiske, ". . . ukuran dalam kemampuan bentuk-bentuk budaya untuk melayani hasrat konsumernya." Popularitas berkaitan dengan kuantitas, bukan kualitas. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang menentukan kualitas itu? Apakah konsumer itu sendiri, di dalam sebuah iklim demokratisasi kultural sehingga apa yang memberikan kesenangan dan kepuasan, itulah yang berkualitas? Akan tetapi, kualitas adalah sesuatu yang memerlukan "otoritas", "disiplin", atau "institusi" untuk memutuskan, bukan otoritas massa.
Akan tetapi, karena "popularitas" adalah motif utama budaya populer, ia harus mencari cara untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang biasa digunakan adalah dengan menyesuaikan diri dengan selera dan tingkat pemahaman massa.
Karena di dalamnya makna tidak dikendalikan oleh penulis (produsen) tetapi "diproduksi" oleh pembaca (konsumer), sastra populer memberi kekuatan pada orang kebanyakan untuk menghasilkan makna dan kesenangan berdasarkan hak, pilihan, preferensinya sendiri. Sastra populer menjadi tempat menggugah "fantasi pembaca". Melalui fantasi yang mereka kembangkan dalam pembacaan, para pembaca mampu membangun "kekuatan semiotik" (semiotic power).
Kritik sastra populer
Bila posmodernisme radikal merayakan sastra dan budaya populer melalui sikap inklusif dan afirmatif, "posmodernisme pluralis" menerima sastra dan budaya populer secara argumentatif dan kritis. Kebebasan yang diperoleh harus ditunjukkan oleh tanggung jawab (responsibility) dan landasan pemikiran etik, sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya.
Penulis harus menunjukkan tanggung jawab bahasa, sastra, sosial, dan bahkan spiritual karyanya. Meskipun relasi sebuah teks dan pembacanya semakin demokratis, ketika penulis tidak lagi menjadi penguasa "makna", sementara pembaca kini mempunyai "kekuasaan" atas teks yang dibacanya, di dalam sebuah relasi yang disebut Roland Barthes sebagai "matinya pengarang" (death of author), tidak berarti bahwa pengarang dapat lepas tangan terhadap teks produksinya. Pengarang dapat menumpahkan segala imajinasi, hasrat, dan fantasinya di dalam teks, tetapi harus disertai tanggung jawab dengan mengutamakan standar kualitasnya.
Tanpa tanggung jawab, Michael Schudson melihat sebuah bahaya dalam kesusastraan, yaitu ". . . pengaburan sifat-sifat khusus teks tertulis (italic penulis) . . . (dan) romantisasi dan sentimentalisasi pembaca seakan-akan ia ada di dalam kondisi sosial tertentu yang melampaui manusia (yang tanpa salah, tanpa dosa)." Memang, para pembaca sastra dan budaya populer tidak menyerap karya sastra populer seperti busa spons, akan tetapi bersifat selektif, reflektif, konstruktif, bahkan "kreatif" dalam pembacaan. Akan tetapi, tidak berarti tingkat refleksi, kritik, atau kreativitas mereka sejajar dengan para pembaca sastra-sastra adiluhung. Kesejajaran eksistensial antara sastra populer dan sastra tinggi tidak berarti kesamaan kualitas keduanya.
Tanggung jawab penulis/produser terhadap karya sastra jauh lebih penting daripada hak pembaca dalam interpretasi. Pluralitas makna yang dihasilkan oleh pembaca tidak dapat dilepaskan dari "kualitas" teks. Tanggung jawab sastra ini semakin besar bila sebuah teks diberi label "teks moralis" (novel moral), "teks ideologis" (novel kebangsaan), atau "teks religius" (novel Islami). Teks moral, ideologis, dan religius mengemban tanggung jawab moral yang jauh lebih besar karena ia berurusan dengan "kebenaran" (truth).
Trans-kritisisme
Posmodernisme pluralis menghargai perbedaan-perbedaan di antara bentuk dan ekspresi-ekspresi sastra yang beragam, sebagai bentuk demokratisasi sastra. Akan tetapi, pengakuan akan kesetaraan ekspresi-ekspresi sastra tidak menjadikan semuanya hidup terpisah secara ekslusif dengan sistem penilaiannya sendiri (judgement system) sehingga ukuran penilaian "sang lain" (misalnya: kaum akademik) tidak bisa digunakan. Ada pandangan posmodernis radikal bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan oleh komunitasnya sendiri, dengan kriteria penilaian dan standar kualitasnya sendiri.
Bila demikian, yang tercipta adalah kembalinya "eksklusivitas kebudayaan", ketika sebuah kelompok budaya membuat benteng tinggi dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Padahal, prinsip pluralisme menolak eksklusivitas. Agar tidak menggiring pada eksklusivisme radikal itu, pluralisme memerlukan prinsip "dialogisme", yaitu proses "dialog" di antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda, dalam rangka mencapai kemajuan bersama (co-progression).
Dialog sastra menuntut keterbukaan dan inklusivitas, bukan sastra prasangka dan eksklusivitas. Dialog memungkinkan proses "pelintasan" (trans), yaitu lintas ekspresi (transexpression), lintas estetik (transesthetics), bahkan lintas kritisisme (trans-criticism). Ia menuntut pula sikap "saling belajar" dan "saling pemahaman". Menentukan karya yang baik dan berkualitas adalah melalui proses dialog itu. Setiap kelompok sastra (baik sastra tinggi maupun populer) harus terbuka dan siap untuk saling kritik, siap memberikan argumentasi yang cerdas, siap memberikan tanggung jawab, dan yang lebih penting siap untuk "saling belajar" demi kemajuan bersama. ***
Perkembangan industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya "sastra massa" atau "sastra populer", yaitu bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika, dan selera orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari "industri budaya" (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas. Ada semacam proses "kapitalisasi", ketika sastra "dengan sengaja atau tak disengaja" menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah "komodifikasi budaya" (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian "industri budaya" telah mengkhawatirkan kalangan kritikus akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut memengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami, dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa.
Perkembangan bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa, dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penilaian, dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, kritikus) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yang "baik" dan yang "buruk".
Ada pula persoalan bagaimana bentuk-bentuk sastra itu dipertanggungjawabkan secara sosial, kultural, moral, bahkan spiritual. Bentuk-bentuk sastra yang membawa pesan moral, ideologi, atau agama tertentu (misalnya sastra Islami), mendapatkan tantangan untuk mampu memperlihatkan landasan estetik-etiknya (ethico-aesthetic). Berbeda dengan sastra populer yang tidak membawa nama moral, ideologi, atau agama tertentu, sastra populer "ideologis" atau "agamis" harus mampu memperlihatkan pemikiran moral ini karena bentuk-bentuk sastra itu menempatkan dirinya sebagai "representasi" nilai-nilai sosial, moral, ideologi, atau spiritual-keagamaan itu sendiri.
Ideologi popularisme
Ada relasi yang tidak dapat dipisahkan antara perkembangan industrialisasi (kapitalisme) dan apa yang disebut sebagai budaya massa (mass culture). Budaya massa adalah sebuah budaya yang berkembang seiring perkembangan industrialisasi. Sebagai bentuk produksi massa, budaya massa diproduksi untuk massa yang luas, berbeda dengan "budaya elite" (elite culture) yang hanya dikonsumsi elite kebudayaan tertentu.
Kata "massa" pada istilah "budaya massa" mempunyai konotasi positif sekaligus negatif. Istilah ini dikaitkan dengan persoalan derajat atau status tertentu dalam kebudayaan. Dalam pengertiannya yang lebih netral, "budaya massa" diartikan sebagai sinonim dari "budaya rakyat kebanyakan" (culture of people).
Terdapat tiga sikap berbeda terhadap budaya populer. Pertama, pandangan "modernis", yang melihat budaya populer sebagai bentuk kebudayaan yang merusak keluhuran budaya tinggi. Kedua, "posmodernis radikal", yang memberi ruang seluas-luasnya bagi budaya populer untuk berkembang sejajar dengan bentuk-bentuk budaya (tinggi) dalam iklim demokratisasi dan relativisme kebudayaan. Ketiga, "posmodernis pluralis" atau "kritis", yang mengakui ruang hidup bagi budaya massa, dalam skema pengakuan akan pluralisme budaya, akan tetapi menuntut tanggung jawab estetik, etik, sosial, dan kulturalnya.
Menolak sastra populer
Para pendukung modernisme, Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan W.F. Haug, menolak sastra dan budaya populer karena dibangun berdasarkan prinsip "industri budaya" (culture industry), yaitu kebudayaan yang diproduksi berdasarkan prinsip-prinsip dasar industri dan komoditas, yang tidak mendorong ke arah "pencerahan" (enlightenment). "Sastra populer", sebagai bagian "industri budaya" adalah sastra yang dikonstruksi sekelompok elite dari atas (elite penulis, produser, penerbit, pengiklan), tetapi sering mengatasnamakan rakyat, untuk membedakannya dari budaya rakyat.
"Sastra tinggi" adalah sastra yang mempunyai standar (kualitas, estetik, selera) yang tinggi, yang diciptakan berdasarkan kemampuan kreativitas dan daya inovasi yang tinggi sehingga selalu menghasilkan sesuatu yang baru (newness), yang belum ada sebelumnya. Ia adalah sastra yang dilandasi semangat kemajuan (progress), yaitu semangat penemuan terus-menerus wilayah-wilayah baru kebudayaan. Sebaliknya, "sastra populer" adalah sastra yang mempunyai standar kualitas selera yang rendah, yang hanya mengulang dan mengimitasi apa yang telah ada sebelumnya.
Sastra massa diproduksi sekelompok elite (penulis, produser, distributor) yang mencari segala cara agar karyanya diterima oleh massa luas dengan mengutamakan motif keuntungan. Karya sastra itu kini menjadi bagian dari industri kebudayaan, yang menghasilkan karya-karya yang memenuhi "selera massa". Selera itu tidak berasal dari massa, tetapi dikonstruksi untuk mereka oleh para elite produser.
Sastra populer membangun sebuah kategori estetik yang komersial, yang oleh W.F. Haug disebut sebagai "estetika komoditi" (commodity aesthetics), yaitu estetika yang melaluinya bentuk-bentuk estetik diciptakan berlandaskan motif daya tarik, keterpesonaan (eye catching) dan perhatian massa konsumer semata, dengan mengangkat berbagai bentuk daya pesona (fetishism) untuk memenuhi hasrat rendah (desire) pembaca. Sastra macam ini tidak terlalu mementingkan logika dari sebuah ekspresi, demi merayakan daya pikat dan daya pesona.
Para pemikir modernis menolak mentah-mentah eksistensi sastra dan budaya populer. Mereka ingin menjaga sifat-sifat luhur dan otonom dari apa yang disebut "pencerahan murni" modernisme. Penyucian sastra dan budaya tinggi adalah dengan melepaskannya dari cengkeraman pengaruh industrialisasi, komersialisasi, dan komodifikasi budaya, khususnya dari pengaruh estetika komoditi kapitalisme. Kaum modernis menolak sastra populer karena dianggap lebih mengutamakan penampakan luar, sifat permukaan, kekuatan menghibur, daya pesona, dan tidak terlalu memedulikan kedalaman makna. Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung argumentasi logis sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.
Merayakan sastra
populer
Sebaliknya dari kaum modernis, kaum "posmodernis radikal" justru mengakui sastra dan budaya massa sebagai bentuk ekspresi yang legitimated. Posmodernisme radikal ingin mendekonstruksi benteng pemisah budaya tinggi/budaya rendah sehingga dapat diciptakan sebuah ruang "heterogenitas sastra", dapat dihidupkan sastra-sastra pinggiran dan budaya rakyat yang sebelumnya ditolak modernisme, dengan sekaligus menolak segala bentuk pertentangan, oposisi biner, dan hierarki budaya.
Dengan mendekonstruksi tembok pemisah budaya tinggi dan budaya rendah, klaim oposisi biner tinggi/rendah, elite/populer, luhur/murahan, seni/kitsch, indah/tidak indah tidak lagi relevan. Posmodernisme radikal menuntut dekonstruksi besar-besaran konsep "sastra" dan "kebudayaan" yang tak hanya mengakui "karya luhur" atau "masterpiece", tetapi juga segala bentuk sastra dan budaya yang selama ini dipinggirkan dan direndahkan.
"Popularitas" menurut Fiske, ". . . ukuran dalam kemampuan bentuk-bentuk budaya untuk melayani hasrat konsumernya." Popularitas berkaitan dengan kuantitas, bukan kualitas. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang menentukan kualitas itu? Apakah konsumer itu sendiri, di dalam sebuah iklim demokratisasi kultural sehingga apa yang memberikan kesenangan dan kepuasan, itulah yang berkualitas? Akan tetapi, kualitas adalah sesuatu yang memerlukan "otoritas", "disiplin", atau "institusi" untuk memutuskan, bukan otoritas massa.
Akan tetapi, karena "popularitas" adalah motif utama budaya populer, ia harus mencari cara untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang biasa digunakan adalah dengan menyesuaikan diri dengan selera dan tingkat pemahaman massa.
Karena di dalamnya makna tidak dikendalikan oleh penulis (produsen) tetapi "diproduksi" oleh pembaca (konsumer), sastra populer memberi kekuatan pada orang kebanyakan untuk menghasilkan makna dan kesenangan berdasarkan hak, pilihan, preferensinya sendiri. Sastra populer menjadi tempat menggugah "fantasi pembaca". Melalui fantasi yang mereka kembangkan dalam pembacaan, para pembaca mampu membangun "kekuatan semiotik" (semiotic power).
Kritik sastra populer
Bila posmodernisme radikal merayakan sastra dan budaya populer melalui sikap inklusif dan afirmatif, "posmodernisme pluralis" menerima sastra dan budaya populer secara argumentatif dan kritis. Kebebasan yang diperoleh harus ditunjukkan oleh tanggung jawab (responsibility) dan landasan pemikiran etik, sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya.
Penulis harus menunjukkan tanggung jawab bahasa, sastra, sosial, dan bahkan spiritual karyanya. Meskipun relasi sebuah teks dan pembacanya semakin demokratis, ketika penulis tidak lagi menjadi penguasa "makna", sementara pembaca kini mempunyai "kekuasaan" atas teks yang dibacanya, di dalam sebuah relasi yang disebut Roland Barthes sebagai "matinya pengarang" (death of author), tidak berarti bahwa pengarang dapat lepas tangan terhadap teks produksinya. Pengarang dapat menumpahkan segala imajinasi, hasrat, dan fantasinya di dalam teks, tetapi harus disertai tanggung jawab dengan mengutamakan standar kualitasnya.
Tanpa tanggung jawab, Michael Schudson melihat sebuah bahaya dalam kesusastraan, yaitu ". . . pengaburan sifat-sifat khusus teks tertulis (italic penulis) . . . (dan) romantisasi dan sentimentalisasi pembaca seakan-akan ia ada di dalam kondisi sosial tertentu yang melampaui manusia (yang tanpa salah, tanpa dosa)." Memang, para pembaca sastra dan budaya populer tidak menyerap karya sastra populer seperti busa spons, akan tetapi bersifat selektif, reflektif, konstruktif, bahkan "kreatif" dalam pembacaan. Akan tetapi, tidak berarti tingkat refleksi, kritik, atau kreativitas mereka sejajar dengan para pembaca sastra-sastra adiluhung. Kesejajaran eksistensial antara sastra populer dan sastra tinggi tidak berarti kesamaan kualitas keduanya.
Tanggung jawab penulis/produser terhadap karya sastra jauh lebih penting daripada hak pembaca dalam interpretasi. Pluralitas makna yang dihasilkan oleh pembaca tidak dapat dilepaskan dari "kualitas" teks. Tanggung jawab sastra ini semakin besar bila sebuah teks diberi label "teks moralis" (novel moral), "teks ideologis" (novel kebangsaan), atau "teks religius" (novel Islami). Teks moral, ideologis, dan religius mengemban tanggung jawab moral yang jauh lebih besar karena ia berurusan dengan "kebenaran" (truth).
Trans-kritisisme
Posmodernisme pluralis menghargai perbedaan-perbedaan di antara bentuk dan ekspresi-ekspresi sastra yang beragam, sebagai bentuk demokratisasi sastra. Akan tetapi, pengakuan akan kesetaraan ekspresi-ekspresi sastra tidak menjadikan semuanya hidup terpisah secara ekslusif dengan sistem penilaiannya sendiri (judgement system) sehingga ukuran penilaian "sang lain" (misalnya: kaum akademik) tidak bisa digunakan. Ada pandangan posmodernis radikal bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan oleh komunitasnya sendiri, dengan kriteria penilaian dan standar kualitasnya sendiri.
Bila demikian, yang tercipta adalah kembalinya "eksklusivitas kebudayaan", ketika sebuah kelompok budaya membuat benteng tinggi dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Padahal, prinsip pluralisme menolak eksklusivitas. Agar tidak menggiring pada eksklusivisme radikal itu, pluralisme memerlukan prinsip "dialogisme", yaitu proses "dialog" di antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda, dalam rangka mencapai kemajuan bersama (co-progression).
Dialog sastra menuntut keterbukaan dan inklusivitas, bukan sastra prasangka dan eksklusivitas. Dialog memungkinkan proses "pelintasan" (trans), yaitu lintas ekspresi (transexpression), lintas estetik (transesthetics), bahkan lintas kritisisme (trans-criticism). Ia menuntut pula sikap "saling belajar" dan "saling pemahaman". Menentukan karya yang baik dan berkualitas adalah melalui proses dialog itu. Setiap kelompok sastra (baik sastra tinggi maupun populer) harus terbuka dan siap untuk saling kritik, siap memberikan argumentasi yang cerdas, siap memberikan tanggung jawab, dan yang lebih penting siap untuk "saling belajar" demi kemajuan bersama. ***
Sastra populer (Oleh: Rara Handayani)
PENDAHULUAN
Analisis wacana maupun analisis isi (kualitas) sebuah karya yang muncul di media-media massa, muncul dengan berbagai pola pandang. Analisis ini merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan semisal karya sastra. Analisis tersebut akan melahirkan persepsi terhadap sebuah karya yang didalamnya terkandung berbagai nilai yang menarik bagi penikmat sastra.
Pendekatan macam ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya makna, nilai, simbol dan ideologi dalam artefak kebudayaan melalui pengamatan terhadap instrumen formal dalam teks sastra, misalnya, gaya bahasa, struktur naratif, sudut pandang, dan lain-lain. Akan tetapi ada juga konsumen sastra yang menyukai sebuah sastra karena nilai fantastis atau daya tarik karya tersebut. Nilai ini biasanya tergantung pada selera masing-masing.
analisis teks sastra kebanyakan menghubungkan tema karya sastra dengan wacana-wacana sebagai konteks yang ada dalam kehidupan dan juga estetika yang didasarkan pada kesenangan-kesenangan pembaca ketika mereka berhadapan dengan teks. Sehingga pembaca tertarik dengan karya tersebut.
Dalam kasus karya sastra, studi resepsi memungkinkan kita untuk dapat mengetahui bagaimana sebuah teks sastra diberi makna oleh pembacanya. Sastra, selama ini masuk dalam wilayah seni tinggi, yang sering dihadapkan secara berkebalikan dengan novel-novel populer. Dalam kebanyakan studi kebudayaan, keterkaitan antara teks dalam novel pop dengan pembaca memang menjadi tema yang menarik, mengingat novel-novel pop tersebut selama ini lekat dengan stigma hiburan, ringan dan memanipulasi emosi pembaca. Novel pop, sama halnya dengan film-film drama yang romantis. Dianggap menjadi salah satu hal yang membentuk impian perempuan terhadap kisah cinta yang romantis dan dramatis.
Dalam studi resepsi terhadap karya-karya sastra (kanon), tampaknya semangat “perlawanan” dan negosiasi ini atas makna-makna kultural tidak muncul sebagai sesuatu yang ditonjolkan betul. Karena dianggap hasil kebudayaan yang lebih bermutu dan serius, sastra jenis ini dinilai lebih bisa mewakili realitas kehidupan masyarakat sekaligus menjadi refleksi sosial.
nilai-nilai dominan yang direpresentasikan produsen, seperti pada studi atas budaya (termasuk di dalamnya sastra) pop, melainkan, menurut hemat saya, adalah bagaimana para pembaca memaknai peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan yang dihadirkan dalam sebuah karya sastra, dan apakah pada akhirnya terbuka ruang-ruang dialog antar para pembaca itu sendiri. Sehingga kritisme pembaca terhadap realitas sosial bisa mendapatkan ruang yang cukup memadai? Sehingga konsumen pengunyah sastra menyukai sastra tersebut.
Perkembangan industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’, telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.
ANALISIS NOVEL LASKAR PELANGI
Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah:
1. Ikal
2. Lintang; Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara
3. Sahara; N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah
4. Mahar; Mahar Ahlan bin Jumadi ahlan bin Zubair bin Awam
5. A Kiong;Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman
6. Syahdan; Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz
7. Kucai; Mukharam Kucai Khairani
8. Borek aka Samson
9. Trapani; Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari
10. Harun; Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Pada bagian-bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Laskar Pelangi adalah karya pertama dari Andrea Hirata. Buku ini segera menjadi Best Seller yang kini kita ketahui sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.
Cerita terjadi di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur. Dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jikalau tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.
Mulai dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah!
Mereka, Laskar Pelangi – nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi – pun sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi ini!
Suatu hal yang menarik dalam novel ini adalah Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini penulis mengisahkan sebuah cerita tentang arti persahabatan, tidak hanya persahabatan saja yang diceritakan oleh penulis, tetapi juga berbagai pengalaman dan imajinasi yang menarik serta berbagai pengorbanan dan semangat seseorang yang selalu dihadang kesulitan untuk mencapai cita-citanya. Dan masih banyak lagi hal lain yang dialami sang tokoh. Dalam konteks ini kemiskinan merupakan masalah utamanya. Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Belitong yang bersekolah di Muhammadiyah adalah anak-anak melayu yang miskin, namun walaupun demikian semangat dan kemauan mereka untuk bersekolah sangat tinggi. Mereka sangat bersyukur karena masih bisa diterima di sekolah Muhammadiyah, salah satu sekolah yang ada di pulau itu.
Rekaman sastra seperti noverl memberikan berbagai macam gambaran kehidupan masing-masing tokoh. Gambaran kehidupan berbeda-beda walaupun sebuah novel itu dikarang oleh pengarang yang sama. Hal itu tergantung pada alur cerita yang dibuat, karena dari alur cerita kita bisa mengambil kesimpulan yang akhirnya bisa menimbulkan berbagai persepsi dari pembaca.
Novel ini dimulai dengan menceritakan sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sebuah sekolah yang sangat berarti bagi 11 anggota kelompok Laskar Pelangi dalam novel ini. Sekolah yang sederhana dan serba kekurangan ini memberikan kekuatan bagi kelompok Laskar Pelangi. Para guru di sekolah ini membawa kesan yang mendalam yang secara lansung tidak bisa dilupakan oleh kelompok siswa ini. Guru-guru yang mengajar mereka seperti Bu Mus dan Pak Harfan Efendi membuat mereka akan selalu mengingat jasa beliau, dengan pengorbanan dan semangat yang menggebu-gebu diberikan membuat mereka merasa lebih berani dan tertantang melakukan sesuatu hal yang baru. Sekolah dan jasa guru di sekolah ini membawa kenangan mais bagi mereka, yang pada akhirnya membawa AKU pernah menginjakkan kaki di Almamater Sarbone, sampai berjaya.
PENUTUP
Perkembangan bentuk-bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penerimaan (reception) dan otoritas dalam pengelolaan, penilaian dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan oleh
lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, dewan kesenian) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yangN ‘baik’ dan yang ‘buruk’ atau ‘populer’ tidak ‘popeler’.
Istilah budaya massa juga sering disamakan dengan istilah `budaya populer’ (popular culture), disebabkan kata `populer’ juga menunjuk pada pengertian `rakyat kebanyakan’ dan standard estetik rendah. Misalnya, novel populer atau majalah populer, yang dianggap bermutu rendah, untuk membedakannya dengan novel atau majalah bermutu tinggi dan dalam. Budaya populer menunjuk pada budaya dengan standard rata-rata dan selera orang biasa (ordinary people) yang diproduksi
secara massal, untuk membedakannya dengan budaya elit atau kelas atas, yang diproduksi secara khusus. Dalam hal ini, kata `populer’ biasanya dikaitkan dengan kelompok mayoritas yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu di dalam sebuah pola industri budaya.
Sastra dan budaya populer dibangun setidak-tidaknya oleh tiga prinsip. Pertama, imajinasi populer (popular imagination), yaitu imajinasi dan fantasi-fantasi bersifat murahan, picisan, banal, vulgar tentang cinta, nasib, gaya hidup, sebagai cara menarik perhatian `massa populer’. Kedua, komunikasi populer (popular discourse), yaitu berbagai bentuk komunikasi bersifat dangkal, permukaan, menghibur ketimbang mencerahkan dan memberi wawasan pengetahuan. Ketiga symbol populer (popular symbol), yaitu simbol-simbol tentang kecantikan, kegagahan, kesuksesan, kebahagiaan bahkan kesalehan, yang ditampilkan pada tingkat permukaan.
Analisis wacana maupun analisis isi (kualitas) sebuah karya yang muncul di media-media massa, muncul dengan berbagai pola pandang. Analisis ini merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan semisal karya sastra. Analisis tersebut akan melahirkan persepsi terhadap sebuah karya yang didalamnya terkandung berbagai nilai yang menarik bagi penikmat sastra.
Pendekatan macam ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya makna, nilai, simbol dan ideologi dalam artefak kebudayaan melalui pengamatan terhadap instrumen formal dalam teks sastra, misalnya, gaya bahasa, struktur naratif, sudut pandang, dan lain-lain. Akan tetapi ada juga konsumen sastra yang menyukai sebuah sastra karena nilai fantastis atau daya tarik karya tersebut. Nilai ini biasanya tergantung pada selera masing-masing.
analisis teks sastra kebanyakan menghubungkan tema karya sastra dengan wacana-wacana sebagai konteks yang ada dalam kehidupan dan juga estetika yang didasarkan pada kesenangan-kesenangan pembaca ketika mereka berhadapan dengan teks. Sehingga pembaca tertarik dengan karya tersebut.
Dalam kasus karya sastra, studi resepsi memungkinkan kita untuk dapat mengetahui bagaimana sebuah teks sastra diberi makna oleh pembacanya. Sastra, selama ini masuk dalam wilayah seni tinggi, yang sering dihadapkan secara berkebalikan dengan novel-novel populer. Dalam kebanyakan studi kebudayaan, keterkaitan antara teks dalam novel pop dengan pembaca memang menjadi tema yang menarik, mengingat novel-novel pop tersebut selama ini lekat dengan stigma hiburan, ringan dan memanipulasi emosi pembaca. Novel pop, sama halnya dengan film-film drama yang romantis. Dianggap menjadi salah satu hal yang membentuk impian perempuan terhadap kisah cinta yang romantis dan dramatis.
Dalam studi resepsi terhadap karya-karya sastra (kanon), tampaknya semangat “perlawanan” dan negosiasi ini atas makna-makna kultural tidak muncul sebagai sesuatu yang ditonjolkan betul. Karena dianggap hasil kebudayaan yang lebih bermutu dan serius, sastra jenis ini dinilai lebih bisa mewakili realitas kehidupan masyarakat sekaligus menjadi refleksi sosial.
nilai-nilai dominan yang direpresentasikan produsen, seperti pada studi atas budaya (termasuk di dalamnya sastra) pop, melainkan, menurut hemat saya, adalah bagaimana para pembaca memaknai peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan yang dihadirkan dalam sebuah karya sastra, dan apakah pada akhirnya terbuka ruang-ruang dialog antar para pembaca itu sendiri. Sehingga kritisme pembaca terhadap realitas sosial bisa mendapatkan ruang yang cukup memadai? Sehingga konsumen pengunyah sastra menyukai sastra tersebut.
Perkembangan industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).
Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’, telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.
ANALISIS NOVEL LASKAR PELANGI
Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah:
1. Ikal
2. Lintang; Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara
3. Sahara; N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah
4. Mahar; Mahar Ahlan bin Jumadi ahlan bin Zubair bin Awam
5. A Kiong;Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman
6. Syahdan; Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz
7. Kucai; Mukharam Kucai Khairani
8. Borek aka Samson
9. Trapani; Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari
10. Harun; Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Pada bagian-bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Laskar Pelangi adalah karya pertama dari Andrea Hirata. Buku ini segera menjadi Best Seller yang kini kita ketahui sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.
Cerita terjadi di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur. Dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jikalau tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.
Mulai dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah!
Mereka, Laskar Pelangi – nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi – pun sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi ini!
Suatu hal yang menarik dalam novel ini adalah Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini penulis mengisahkan sebuah cerita tentang arti persahabatan, tidak hanya persahabatan saja yang diceritakan oleh penulis, tetapi juga berbagai pengalaman dan imajinasi yang menarik serta berbagai pengorbanan dan semangat seseorang yang selalu dihadang kesulitan untuk mencapai cita-citanya. Dan masih banyak lagi hal lain yang dialami sang tokoh. Dalam konteks ini kemiskinan merupakan masalah utamanya. Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Belitong yang bersekolah di Muhammadiyah adalah anak-anak melayu yang miskin, namun walaupun demikian semangat dan kemauan mereka untuk bersekolah sangat tinggi. Mereka sangat bersyukur karena masih bisa diterima di sekolah Muhammadiyah, salah satu sekolah yang ada di pulau itu.
Rekaman sastra seperti noverl memberikan berbagai macam gambaran kehidupan masing-masing tokoh. Gambaran kehidupan berbeda-beda walaupun sebuah novel itu dikarang oleh pengarang yang sama. Hal itu tergantung pada alur cerita yang dibuat, karena dari alur cerita kita bisa mengambil kesimpulan yang akhirnya bisa menimbulkan berbagai persepsi dari pembaca.
Novel ini dimulai dengan menceritakan sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sebuah sekolah yang sangat berarti bagi 11 anggota kelompok Laskar Pelangi dalam novel ini. Sekolah yang sederhana dan serba kekurangan ini memberikan kekuatan bagi kelompok Laskar Pelangi. Para guru di sekolah ini membawa kesan yang mendalam yang secara lansung tidak bisa dilupakan oleh kelompok siswa ini. Guru-guru yang mengajar mereka seperti Bu Mus dan Pak Harfan Efendi membuat mereka akan selalu mengingat jasa beliau, dengan pengorbanan dan semangat yang menggebu-gebu diberikan membuat mereka merasa lebih berani dan tertantang melakukan sesuatu hal yang baru. Sekolah dan jasa guru di sekolah ini membawa kenangan mais bagi mereka, yang pada akhirnya membawa AKU pernah menginjakkan kaki di Almamater Sarbone, sampai berjaya.
PENUTUP
Perkembangan bentuk-bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penerimaan (reception) dan otoritas dalam pengelolaan, penilaian dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan oleh
lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, dewan kesenian) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yangN ‘baik’ dan yang ‘buruk’ atau ‘populer’ tidak ‘popeler’.
Istilah budaya massa juga sering disamakan dengan istilah `budaya populer’ (popular culture), disebabkan kata `populer’ juga menunjuk pada pengertian `rakyat kebanyakan’ dan standard estetik rendah. Misalnya, novel populer atau majalah populer, yang dianggap bermutu rendah, untuk membedakannya dengan novel atau majalah bermutu tinggi dan dalam. Budaya populer menunjuk pada budaya dengan standard rata-rata dan selera orang biasa (ordinary people) yang diproduksi
secara massal, untuk membedakannya dengan budaya elit atau kelas atas, yang diproduksi secara khusus. Dalam hal ini, kata `populer’ biasanya dikaitkan dengan kelompok mayoritas yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu di dalam sebuah pola industri budaya.
Sastra dan budaya populer dibangun setidak-tidaknya oleh tiga prinsip. Pertama, imajinasi populer (popular imagination), yaitu imajinasi dan fantasi-fantasi bersifat murahan, picisan, banal, vulgar tentang cinta, nasib, gaya hidup, sebagai cara menarik perhatian `massa populer’. Kedua, komunikasi populer (popular discourse), yaitu berbagai bentuk komunikasi bersifat dangkal, permukaan, menghibur ketimbang mencerahkan dan memberi wawasan pengetahuan. Ketiga symbol populer (popular symbol), yaitu simbol-simbol tentang kecantikan, kegagahan, kesuksesan, kebahagiaan bahkan kesalehan, yang ditampilkan pada tingkat permukaan.
Senin, 25 Mei 2009
Ustaz, Pastor, dan Guru
MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda
atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau
klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif,
makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para
guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.
Makna kata inilah yang menjadi acuan Ayatrohaédi ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu
yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan
umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru
agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol
kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di
sekolah umum.
Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja
asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu,
Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan
pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan
kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna
kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam
struktur keagamaan permanen.
Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai
pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan
pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen,
seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam
dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.
Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen,
pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan
punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa,
sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota
tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak
menikah.
Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan
imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan
pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai
dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama
Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu,
Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih
"demokratis".
Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya)
mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto
sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di
universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian
mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal,
kontekstual, atau konotatif.
F Rahardi Penyair
atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau
klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif,
makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para
guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.
Makna kata inilah yang menjadi acuan Ayatrohaédi ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu
yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan
umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru
agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol
kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di
sekolah umum.
Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja
asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu,
Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan
pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan
kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna
kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam
struktur keagamaan permanen.
Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai
pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan
pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen,
seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam
dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.
Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen,
pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan
punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa,
sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota
tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak
menikah.
Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan
imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan
pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai
dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama
Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu,
Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih
"demokratis".
Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya)
mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto
sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di
universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian
mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal,
kontekstual, atau konotatif.
F Rahardi Penyair
Langganan:
Komentar (Atom)