Rabu, 17 Juni 2009

TOTEM, BERDIRI DI ANTARA SASTRA POPULER DAN SASTRA KANON (Oleh: Sariful Lazi)

Lahirnya Sastra Populer (Fiksi Populer)
Dalam sejarah sastra indonesia, istilah fiksi populer mulai dikenal pada tahun 1980-an, yaitu bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan bahasa Melayu-pasaran (rendahan) yang berjudul Sobat Anak-Anak karya Lie Kim Hok. Bacaan ini hanya menampilkan cerita-cerita yang ringan dengan maksud menghibur. Konsumen bacaan itu juga terbatas di kalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9-10). Kemudian tahun 1930-an, fiksi populer menghangat kembali dengan banyaknya terbitan “roman Medan” yang oleh R. Roolvink (1959) disebut “roman pictjisan”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan bacaan murahan walaupun tidak harus lebih murah dari pada buku-buku yang dianggap lebih sastra, melainkan adalah bacaan yang mudah dicerna, non-kontemplasi yang serius, stereotip, juga indikasi mengeksplorasi seks.
Demikian itu pula, penyebab tak mendapat perhatiannya fiksi populer di kalangan kritikus sastra. Terciptanya hegemoni anggapan bahwa fiksi populer itu tidak signifikan secara estetik dan literer sehingga tak layak diteliti. Tidak menyanggah bahwa sejauh ini sedikit sekali para peneliti Indonesia yang memberi perhatian pada fiksi populer, seperti halnya Jakob Sumardjo, Ajip Rosidi, dan Nio Joe Lan yang masih menempatkan fiksi populer sebagai bacaan yang kuran bermutu dibandingkan dengan karya sastra serius. Namun, memperbandingkan fiksi populer dengan sastra “serius” adalah membandingkan sesuatu berdasarkan satu anggapan yang telah mapan, mengukur estetika dan kebenaran berdasarkan asumsi normatif cukup diminati banyak pembaca. Tahun 1970-an bermunculan bacaan populer seperti karya Abdullah Harahap (Musim Cinta Telah Berlalu), Marga T. (Karmila), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustasi Puncak Gunung), Eddy D. Iskandar (Cowok Komersil, Gita Cinta Dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil), Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalanan), dan sebagainya.
Tahun 1980-an masyarakat digegerkan dengan terbitnya Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak, karyanya Gola Gong, Zarra Zetira, dan sebagainya. Tahun 1990-an fiksi populer mulai tenggelam karena menghadapi persaingan yang cukup serius, yakni dengan hadirnya beberapa televisi swasta, dengan memprioritaskan tayangan produk lokal yang telah dikondisikan oleh peraturan pemerintah pada waktu itu, maka sinetron mulai menjadi andalan. Demikian dengan hadirnya sinetron tersebut masyarakat mulai beralih hobi.
Terakhir pada dasawarsa ini fiksi populer muncul kembali ke permukaan publik dengan hadirnya novel seperti, Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman), Ketika Cinta Bertasbih (Habiburrahman), Trilogi Novel (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov) karyanya Andrea Hirata, dan sebagainya. Makin maraknya fiksi populer bahkan ada yang mengeksplorasi isi novel tersebut ke layar kaca (Wanita Berkalung Sorban, Laskar Pelangi, dan lain-lain).

Posisi Sastra Populer Indonesia
Tidak dapat dipungkiri ketika seseorang memilih satu anggapan tertentu tentang fiksi populer dan mencoba menulis, maka sadar atau tidak seseorang tersebut mengambil posisi seperti diposisikan terhadap karya-karya sastra pada umumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, semua terbitan kesastraan sedapat mungkin dikontrol pemerintah dengan Nota Rinkes-nya melalui manajemen Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat). Nota itu berisi aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, tidak berpolitik (tidak merusak wibawa pemerintah) (Teeuw, 1955: 57-60), merupakan satu criteria mana sastra yang serius, mana yang liar atau populer.Yang lolos melalui Balai Pustaka kemudian merupakan sesuatu yang menjadi kanon, yang tidak lolos dari Balai Pustaka dianggap sebagai bacaan liar, seperti karya Marco kartodikromo berjudul Student Hijo, bahkan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis hampir tidak jadi diterbitkan jika tidak diubah sesuai dengan aturan main Nota Rinkes.
Sayangnya, asumsi ini masih tetap tumbuh dan bahkan tidak disadari dilegitimasikan pula di masa Orde Baru. Karena menjadi kriteria “bawah sadar” Negara, kriteria ini menjadi dominant dan hegemonik pada masa-masa berikutnya. Untuk itu kita perlu mengingat tulisannya Heryanto tentang empat ragam kesusastraan Indonesia, yaitu kesusastraan yang diresmikan, yang dilarang, kesusastraan yang dilarang, dan kesusastraan yang dipisahkan. Itulah sebabnya, fiksi populer yang demikian marak tahun 1970-an hingga awal 1980-an, bukan saja karena factor teknologis pada khususnya atau sebagai akibat perkembangan pendidikan dan ekonomi, tetapi di pihak lain, karena fiksi populer menjadi bagian tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan semacam “pelarian” dari wacana politik yang demikian ketat, atau justru sebagai ajang kompromi imajinari terhadap realitas politik yang sesungguhnya. Kita tahu bahwa fiksi populer bukan saja diabaikan oleh para peneliti, juga secara sukarela dibiarkan oleh kekuasaan karena dianggap tidak mengganggu, dalam beberapa hal malah melegitimasi kekuasaan yang sedang berlangsung, mengusung wacana yang justru memperkuat posisi elite.
Dapat diperkirakan, bahwa era 1970-an hingga 1980-an adalah masa jaya fiksi populer. Hampir sebagian besar orang mengenal dan membaca karya Ashadi yang berjudul Cintaku di Kampus Biru. Dikemudian hari banyak novel populer difilmkan, dengan aktor dan aktris populer pada masa itu.
Tahun 1998, wacana politik kekuasaan mengalami perubahan radikal. Kerangka acuan stratifikasi sastra di Indonesia tidak berlaku lagi. Banyak karya yang dilarang, seperti tetralogi Pramoedya, karya Marco, Semaun, dan sebagainya, sekarang diterbitkan secara bebas tanpa kendala politik. Sementara itu, teori dan kritik sastra juga semakin mandiri sehingga lebih memandang karya-karya kemanusiaan sebagai teks tersendiri, sebagai representasi yang berhak dianalisis. Itu sebabnya, perhatian terhadap fiksi-fiksi populer semakin luas, mendapat perhatian tersendiri untuk dikaji.

Peta Politik yang Melatarbelakangi Kanonisasi Sastra Indonesia
Kanon sastra dapat bermakna kitab hokum. Kanon sastra kerap berarti kitab hokum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Sejalan dengan arus reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Kanon sastra dapat berubah. Apa yang dulu diakui termasuk dalam kanon saastra tidak diakui lagi. Perubahan terjadi antara lain karena makin aspirasi yang berkembang di masyarakat dan perkembangan ilmu. Lalu, dengan adanya perkembangan lebih lanjut, seperti munculnya sosiologi sastra, kanon sastra pun dapat berubah.
Dalam pandangan postmodern, kanon estetis menegaskan eksistensi kelompok yang berkuasa dalam mencipta budaya klasik di mana sekumpulan literatur, buku, sikap, dan praktik yang melahirkan hegemoni dengan karakter kebenaran satu dimensi dan berlaku universal yang ditampilkan kepada dunia sebagai teladan. Dalam sastra Barat asal-usul kanon dapat dilacak pada pengakuan terhadap orang-orang suci (saints) dalam tradisi Gereja Roma. Oleh Gereja, orang-orang yang diakui kesuciannya itu dikanonkan dengan jalan menatahkan gambar orang-orang suci itu pada kaca gereja sebagai tanda pengakuan terhadap kesucian mereka.
Karya sastra yang mampu bertahan melampau berbagai zaman termasuk dalam kanon sastra. Menurut Nirwan Dewanto dalam khazanah kebudayaan Barat, Eropa, khususnya apa yang disebut kanon sastra adalah kumpulan puncak (masterpieces) yang mencerminkan pencapaian humanisme Eropa, sejak Yunani Purba sampai modernisme abad ke-20. Karya-karya kanonik yang sangat mewarnai system pendidikan di Barat, dapat dianggap simbol keperkasaan budaya kulit putih. Dalam kehidupan seni dan intelektual, kanon itu merupakan landasan yang kokoh dan tradisi yang hidup bagi pencipta karya selanjutnya.
Marilah kita lihat apa yang pernah terjadi pada sastra Indonesia. Kita dapat mempertanyakan, mengapa Datuk Maringgih, watak jahanam dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, ternyata membelot terhadap Belanda. Dia bukan saja jahat terhadap sesamanya, juga menolak membayar kepada penjajah Belanda. Lalu, mengapa pula, Samsul Bahri, watak yang sangat simpatik dalam novel ini, ternyata kemudian menjadi serdadu kompeni antek Belanda. Mereka berdua, akhirnya salilng membunuh.
Karena Belanda mendirikan penerbit Balai Pustaka, satu-satunya penerbit resmi pada waktu itu, maka kanon sastra pun ditentukan oleh kebijakan Balai Pustaka. Sekian banyak karya sastra di luar penerbitan Balai Pustaka pada waktu itu dianggap tidak resmi, dank arena itu tersingkirkan dari sastra. Serangkaian penelitian mengenai novel-novel tidak resmi ini menunjukkan, ada juga karya sastra di luar Balai Pustaka yang sebetulnya baik, bahkan lebih baik daripada novel-novel Balai Pustaka.
Bagaimana pun, kanon sastra yang tidak naïf adalah melayani keperluan spesifik bagi pembelajar dan pengajar sastra. Seperti anggapan-anggapan sebelumnya, adanya stratifikasi sastra Indonesia yang sangat jelas mendiskriminasikan sastra, pada masa penjajahan Belanda kemudian diwariskan di masa Orde Baru, menunjukkan pembatasan secara keras sastra Indonesia. Mengapa karya-karya Pramoedya Ananta Toer dijegal, dan diharamkan untuk dijadikan bahan Pengajaran sastra pada waktu itu?
Padahal, karya sastra Pramoedya Ananta Toer ibarat merek yang memberi jaminan mutu pada kualitas karya sastra. Puluhan bahkan ratusan penghargaan dalam dan luar negeri telah mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan kawakan Indonesia. Pada zaman Orde Baru, Pram sempat mendekam dalam pengapnya penjara selama bertahun-tahun. Karyanya dianggap melukai hati penguasa Orba terlebih.
Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya seringkali juga melatarbelakangi ceritanya dalam paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia yang telah dipaparkan di masa lalu memang sangat ditentukan bukan hanya politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tidak dapat diajarkan di sekolah.
Dengan demikian, sastra Indonesia dihadirkan tidak berpeta. Dapat dilihat pada pembelajaran sastra di sekolah dasar dan menengah. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagai guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Inilah pentinganya kerangka acuan tersebut. Pengajaran sastra membutuhkan peta untuk kerangka acuan yang bertujuan untuk melihat kenyataan di dalam teks sastra, sehingga membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapa pun tidak terlepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk pembelajaran sastra baik dalam kelas formal maupun tidak

Posisi novel “Totem” sebagai Novel Populer di tengah Arus Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dan pluralisme budaya demokratis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antar-etnis, antara suku bangsa dan antar budaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan posisi setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragaman.
Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praktis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra modern Indonesia. Problem dasar pada waktu itu yaitu, ketika hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usaha membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta.
Sekedar mengulas, bahwa novel “Totem” karya D. Jayadikarta yang terbit sekitar tahun 2006 oleh Bentang dimasukkan dalam kotak roman picisan karena kepentingan politik pada masa itu. Dan, karena isinya mengenai kebobrokan moral bangsa pada Mei 1998. Namun novel yang dikatakan roman picisan ini mempunyai nilai-nilai multikultural yang kuat. Percampuran budaya antara budaya Bali, Jawa, dikombinasikan menjadi cerita yang utuh. Bushido yang diceritakan dalam novel ini melambangkan kebejatan serdadu pemerintah, dan Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi korban kebejatannya. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini ketika dunia memasuki pengaburan batas geografis, justru totem dengan warna lokalnya ikut menjadi identitas yang bernilai politis.
Di negeri ini, orang tak bebas bicara, tak bebas bertindak. Siapa yang lemah akan binasa, terinjak-injak raksasa penguasa, tergilas mesin-mesin industri. Begitulah kesimpulan dari cerita Totem. Lebih jauh lagi, enam orang sahabat dalam cerita ini tidak bias tinggal diam, mereka berupaya menggeliat bangun dan menyuarakan kebenaran. Mereka pun terjebak dalam petualangan menegangkan yang melibatkan triad dan oknum-oknum pemerintah, yang kejam dan tak kenal ampun. Dan mereka dihantui oleh sosok misterius yang menyebut dirinya sebagai Totem, yang hadir dalam dunia maya, namun bias menguntit tiap langkah yang mereka ambil, dan menyibak rahasia masa lalu mereka. Tika, Ayudia, Ronald, Sasa, Michelle, dan Tisna harus bekerja sama memecahkan misteri yang menaungi Totem, bergulat mempertanyakan keyakinan diri masing-masing, sekaligus terus berlari dari orang-orang yang mengejar dan ingin menghabisi mereka. Mereka mencari arti dari sepenggal masa lalu, arti kuasa yang satu, dan mereka pun belajar melupakan, juga memaafkan.
Kerumitan cerita diuraikan dengan alur filmis, ke masa lalu dan masa sekarang, dalam kemasan setting di berbagai belahan dunia dan penggalan waktu yang kompleks. Dari berbagai sumber yang diperoleh didapat informasi bahwa novel ini merupakan pengalaman pribadi si pengarang. D. Jayadikarta pernah bekerja di sebuah manufakturing di Bandung, dan novel ini banyak terinspirasi dari pengalaman-pengalamannya selama bekerja di sana.
Multikulturalisme dalam totem terbentuk dari tiap-tiap potongan alur cerita. Seperti pada awal cerita terdapat istilah-istilah jawa yang berupa kata yang pendek seperti istilah Jawa, “Niladruka, Mustika Maharani, lobrok, montor keblak, dan banyak lagi yang istilah lain. Selain itu, ikut terdapat juga kalimat dalam bahasa Inggris yang ditampilkan lewat percakapan antara Ayudia dan Ronald Algate, suaminya.

Perlukah Novel Populer seperti Totem Menjadi Bahan Pengajaran di Sekolah?
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa untuk melegitimasikan sebuah sastra dalam dunia pendidikan tidaklah mudah. Karya sastra tersebut harus disahkan atau dikanonkan. Karya tersebut harus lulus sensor dari pemerintah tentunya. Hal-hal yang pasti merugikan pemerintah bahkan merusak wibawa pemerintah senantiasa dihindari meskipun karya tersebut bermutu tinggi.
Seperti yang dialami pada karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer, dan mengapa penerbit yang dikuasai pemerintah tak sudi menerbitkan karya-karyanya. Sampai saat ini, karya-karya tersebut belum dijamah oleh dunia pendidikan, dan pengajar secara khususnya merasa segan untuk mengambil karya-karya yang demikian itu untuk dikaji. Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi sastra? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwa-fatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A. Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri baru menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana sastra Indonesia 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi tugas pengajar untuk bias menampilkan wajah sastra Indonesia selengkap mungkin. Dan, kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi factor politik cukup besar pengaruhnya. Ini misalnya, bias kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin. Setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, factor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar yang menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap.
Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca karya-karya puncak yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.
Problematika yang dihadapi dalam dunia sastra ialah bagaikan sebuah uang logam yang mempunyai sisi-sisi yang berbeda. Sisi nominal menggambarkan nilai estetika karya sebagai karya sastra, sisi lambang garuda ialah peraturan pemerintah dan konvensi yang telah disepakati pemerintah. Untuk mendobraknya kita memerlukan kehadiran H.B. Jassin-H.B. Jassin yang baru dalam kancah dunia kritik sastra Indonesia agar karya-karya bermutu seperti novel Totem dan karya-karyanya Pramoedya mendapat tempat khusus dalam pengajaran sastra di sekolah.


Daftar Rujukan:
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984.
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004.
Dewanto, Nirwan.Dalam Bayangan Kanon Sastra. Kompas 25 Januari 1995 hlm.17
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan. 1988.
_____. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera. 2001a
_____. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. 2001b.
Heryanto, Ariel. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. 1985.
_____. .Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir dalam Prisma . Jakarta: LP3ES. No. 8 Tahun XVII. 1988.
Jayadikarta, D. Totem. Yogyakarta: Bentang. 2006.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia. 1993.
Mahayana, Maman S. Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta:Bening Publishing. 2005.
Mohamad, Goenawan, Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Pradopo, Rachmat Djoko. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Sobary, Mohammad. Kebudayaan Rakyat. Yogyakarta: Bentang. 1996.
Sumardjo, Jakob. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1982.
Teeuw, A. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan. 1952.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar