Rabu, 17 Juni 2009

TOTEM, BERDIRI DI ANTARA SASTRA POPULER DAN SASTRA KANON (Oleh: Sariful Lazi)

Lahirnya Sastra Populer (Fiksi Populer)
Dalam sejarah sastra indonesia, istilah fiksi populer mulai dikenal pada tahun 1980-an, yaitu bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan bahasa Melayu-pasaran (rendahan) yang berjudul Sobat Anak-Anak karya Lie Kim Hok. Bacaan ini hanya menampilkan cerita-cerita yang ringan dengan maksud menghibur. Konsumen bacaan itu juga terbatas di kalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9-10). Kemudian tahun 1930-an, fiksi populer menghangat kembali dengan banyaknya terbitan “roman Medan” yang oleh R. Roolvink (1959) disebut “roman pictjisan”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan bacaan murahan walaupun tidak harus lebih murah dari pada buku-buku yang dianggap lebih sastra, melainkan adalah bacaan yang mudah dicerna, non-kontemplasi yang serius, stereotip, juga indikasi mengeksplorasi seks.
Demikian itu pula, penyebab tak mendapat perhatiannya fiksi populer di kalangan kritikus sastra. Terciptanya hegemoni anggapan bahwa fiksi populer itu tidak signifikan secara estetik dan literer sehingga tak layak diteliti. Tidak menyanggah bahwa sejauh ini sedikit sekali para peneliti Indonesia yang memberi perhatian pada fiksi populer, seperti halnya Jakob Sumardjo, Ajip Rosidi, dan Nio Joe Lan yang masih menempatkan fiksi populer sebagai bacaan yang kuran bermutu dibandingkan dengan karya sastra serius. Namun, memperbandingkan fiksi populer dengan sastra “serius” adalah membandingkan sesuatu berdasarkan satu anggapan yang telah mapan, mengukur estetika dan kebenaran berdasarkan asumsi normatif cukup diminati banyak pembaca. Tahun 1970-an bermunculan bacaan populer seperti karya Abdullah Harahap (Musim Cinta Telah Berlalu), Marga T. (Karmila), Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustasi Puncak Gunung), Eddy D. Iskandar (Cowok Komersil, Gita Cinta Dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil), Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalanan), dan sebagainya.
Tahun 1980-an masyarakat digegerkan dengan terbitnya Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak, karyanya Gola Gong, Zarra Zetira, dan sebagainya. Tahun 1990-an fiksi populer mulai tenggelam karena menghadapi persaingan yang cukup serius, yakni dengan hadirnya beberapa televisi swasta, dengan memprioritaskan tayangan produk lokal yang telah dikondisikan oleh peraturan pemerintah pada waktu itu, maka sinetron mulai menjadi andalan. Demikian dengan hadirnya sinetron tersebut masyarakat mulai beralih hobi.
Terakhir pada dasawarsa ini fiksi populer muncul kembali ke permukaan publik dengan hadirnya novel seperti, Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman), Ketika Cinta Bertasbih (Habiburrahman), Trilogi Novel (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov) karyanya Andrea Hirata, dan sebagainya. Makin maraknya fiksi populer bahkan ada yang mengeksplorasi isi novel tersebut ke layar kaca (Wanita Berkalung Sorban, Laskar Pelangi, dan lain-lain).

Posisi Sastra Populer Indonesia
Tidak dapat dipungkiri ketika seseorang memilih satu anggapan tertentu tentang fiksi populer dan mencoba menulis, maka sadar atau tidak seseorang tersebut mengambil posisi seperti diposisikan terhadap karya-karya sastra pada umumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, semua terbitan kesastraan sedapat mungkin dikontrol pemerintah dengan Nota Rinkes-nya melalui manajemen Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat). Nota itu berisi aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, tidak berpolitik (tidak merusak wibawa pemerintah) (Teeuw, 1955: 57-60), merupakan satu criteria mana sastra yang serius, mana yang liar atau populer.Yang lolos melalui Balai Pustaka kemudian merupakan sesuatu yang menjadi kanon, yang tidak lolos dari Balai Pustaka dianggap sebagai bacaan liar, seperti karya Marco kartodikromo berjudul Student Hijo, bahkan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis hampir tidak jadi diterbitkan jika tidak diubah sesuai dengan aturan main Nota Rinkes.
Sayangnya, asumsi ini masih tetap tumbuh dan bahkan tidak disadari dilegitimasikan pula di masa Orde Baru. Karena menjadi kriteria “bawah sadar” Negara, kriteria ini menjadi dominant dan hegemonik pada masa-masa berikutnya. Untuk itu kita perlu mengingat tulisannya Heryanto tentang empat ragam kesusastraan Indonesia, yaitu kesusastraan yang diresmikan, yang dilarang, kesusastraan yang dilarang, dan kesusastraan yang dipisahkan. Itulah sebabnya, fiksi populer yang demikian marak tahun 1970-an hingga awal 1980-an, bukan saja karena factor teknologis pada khususnya atau sebagai akibat perkembangan pendidikan dan ekonomi, tetapi di pihak lain, karena fiksi populer menjadi bagian tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan semacam “pelarian” dari wacana politik yang demikian ketat, atau justru sebagai ajang kompromi imajinari terhadap realitas politik yang sesungguhnya. Kita tahu bahwa fiksi populer bukan saja diabaikan oleh para peneliti, juga secara sukarela dibiarkan oleh kekuasaan karena dianggap tidak mengganggu, dalam beberapa hal malah melegitimasi kekuasaan yang sedang berlangsung, mengusung wacana yang justru memperkuat posisi elite.
Dapat diperkirakan, bahwa era 1970-an hingga 1980-an adalah masa jaya fiksi populer. Hampir sebagian besar orang mengenal dan membaca karya Ashadi yang berjudul Cintaku di Kampus Biru. Dikemudian hari banyak novel populer difilmkan, dengan aktor dan aktris populer pada masa itu.
Tahun 1998, wacana politik kekuasaan mengalami perubahan radikal. Kerangka acuan stratifikasi sastra di Indonesia tidak berlaku lagi. Banyak karya yang dilarang, seperti tetralogi Pramoedya, karya Marco, Semaun, dan sebagainya, sekarang diterbitkan secara bebas tanpa kendala politik. Sementara itu, teori dan kritik sastra juga semakin mandiri sehingga lebih memandang karya-karya kemanusiaan sebagai teks tersendiri, sebagai representasi yang berhak dianalisis. Itu sebabnya, perhatian terhadap fiksi-fiksi populer semakin luas, mendapat perhatian tersendiri untuk dikaji.

Peta Politik yang Melatarbelakangi Kanonisasi Sastra Indonesia
Kanon sastra dapat bermakna kitab hokum. Kanon sastra kerap berarti kitab hokum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Sejalan dengan arus reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Kanon sastra dapat berubah. Apa yang dulu diakui termasuk dalam kanon saastra tidak diakui lagi. Perubahan terjadi antara lain karena makin aspirasi yang berkembang di masyarakat dan perkembangan ilmu. Lalu, dengan adanya perkembangan lebih lanjut, seperti munculnya sosiologi sastra, kanon sastra pun dapat berubah.
Dalam pandangan postmodern, kanon estetis menegaskan eksistensi kelompok yang berkuasa dalam mencipta budaya klasik di mana sekumpulan literatur, buku, sikap, dan praktik yang melahirkan hegemoni dengan karakter kebenaran satu dimensi dan berlaku universal yang ditampilkan kepada dunia sebagai teladan. Dalam sastra Barat asal-usul kanon dapat dilacak pada pengakuan terhadap orang-orang suci (saints) dalam tradisi Gereja Roma. Oleh Gereja, orang-orang yang diakui kesuciannya itu dikanonkan dengan jalan menatahkan gambar orang-orang suci itu pada kaca gereja sebagai tanda pengakuan terhadap kesucian mereka.
Karya sastra yang mampu bertahan melampau berbagai zaman termasuk dalam kanon sastra. Menurut Nirwan Dewanto dalam khazanah kebudayaan Barat, Eropa, khususnya apa yang disebut kanon sastra adalah kumpulan puncak (masterpieces) yang mencerminkan pencapaian humanisme Eropa, sejak Yunani Purba sampai modernisme abad ke-20. Karya-karya kanonik yang sangat mewarnai system pendidikan di Barat, dapat dianggap simbol keperkasaan budaya kulit putih. Dalam kehidupan seni dan intelektual, kanon itu merupakan landasan yang kokoh dan tradisi yang hidup bagi pencipta karya selanjutnya.
Marilah kita lihat apa yang pernah terjadi pada sastra Indonesia. Kita dapat mempertanyakan, mengapa Datuk Maringgih, watak jahanam dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, ternyata membelot terhadap Belanda. Dia bukan saja jahat terhadap sesamanya, juga menolak membayar kepada penjajah Belanda. Lalu, mengapa pula, Samsul Bahri, watak yang sangat simpatik dalam novel ini, ternyata kemudian menjadi serdadu kompeni antek Belanda. Mereka berdua, akhirnya salilng membunuh.
Karena Belanda mendirikan penerbit Balai Pustaka, satu-satunya penerbit resmi pada waktu itu, maka kanon sastra pun ditentukan oleh kebijakan Balai Pustaka. Sekian banyak karya sastra di luar penerbitan Balai Pustaka pada waktu itu dianggap tidak resmi, dank arena itu tersingkirkan dari sastra. Serangkaian penelitian mengenai novel-novel tidak resmi ini menunjukkan, ada juga karya sastra di luar Balai Pustaka yang sebetulnya baik, bahkan lebih baik daripada novel-novel Balai Pustaka.
Bagaimana pun, kanon sastra yang tidak naïf adalah melayani keperluan spesifik bagi pembelajar dan pengajar sastra. Seperti anggapan-anggapan sebelumnya, adanya stratifikasi sastra Indonesia yang sangat jelas mendiskriminasikan sastra, pada masa penjajahan Belanda kemudian diwariskan di masa Orde Baru, menunjukkan pembatasan secara keras sastra Indonesia. Mengapa karya-karya Pramoedya Ananta Toer dijegal, dan diharamkan untuk dijadikan bahan Pengajaran sastra pada waktu itu?
Padahal, karya sastra Pramoedya Ananta Toer ibarat merek yang memberi jaminan mutu pada kualitas karya sastra. Puluhan bahkan ratusan penghargaan dalam dan luar negeri telah mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan kawakan Indonesia. Pada zaman Orde Baru, Pram sempat mendekam dalam pengapnya penjara selama bertahun-tahun. Karyanya dianggap melukai hati penguasa Orba terlebih.
Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya seringkali juga melatarbelakangi ceritanya dalam paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia yang telah dipaparkan di masa lalu memang sangat ditentukan bukan hanya politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tidak dapat diajarkan di sekolah.
Dengan demikian, sastra Indonesia dihadirkan tidak berpeta. Dapat dilihat pada pembelajaran sastra di sekolah dasar dan menengah. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagai guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Inilah pentinganya kerangka acuan tersebut. Pengajaran sastra membutuhkan peta untuk kerangka acuan yang bertujuan untuk melihat kenyataan di dalam teks sastra, sehingga membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapa pun tidak terlepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk pembelajaran sastra baik dalam kelas formal maupun tidak

Posisi novel “Totem” sebagai Novel Populer di tengah Arus Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dan pluralisme budaya demokratis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antar-etnis, antara suku bangsa dan antar budaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan posisi setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragaman.
Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praktis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra modern Indonesia. Problem dasar pada waktu itu yaitu, ketika hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usaha membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta.
Sekedar mengulas, bahwa novel “Totem” karya D. Jayadikarta yang terbit sekitar tahun 2006 oleh Bentang dimasukkan dalam kotak roman picisan karena kepentingan politik pada masa itu. Dan, karena isinya mengenai kebobrokan moral bangsa pada Mei 1998. Namun novel yang dikatakan roman picisan ini mempunyai nilai-nilai multikultural yang kuat. Percampuran budaya antara budaya Bali, Jawa, dikombinasikan menjadi cerita yang utuh. Bushido yang diceritakan dalam novel ini melambangkan kebejatan serdadu pemerintah, dan Jugun Ianfu adalah wanita yang menjadi korban kebejatannya. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini ketika dunia memasuki pengaburan batas geografis, justru totem dengan warna lokalnya ikut menjadi identitas yang bernilai politis.
Di negeri ini, orang tak bebas bicara, tak bebas bertindak. Siapa yang lemah akan binasa, terinjak-injak raksasa penguasa, tergilas mesin-mesin industri. Begitulah kesimpulan dari cerita Totem. Lebih jauh lagi, enam orang sahabat dalam cerita ini tidak bias tinggal diam, mereka berupaya menggeliat bangun dan menyuarakan kebenaran. Mereka pun terjebak dalam petualangan menegangkan yang melibatkan triad dan oknum-oknum pemerintah, yang kejam dan tak kenal ampun. Dan mereka dihantui oleh sosok misterius yang menyebut dirinya sebagai Totem, yang hadir dalam dunia maya, namun bias menguntit tiap langkah yang mereka ambil, dan menyibak rahasia masa lalu mereka. Tika, Ayudia, Ronald, Sasa, Michelle, dan Tisna harus bekerja sama memecahkan misteri yang menaungi Totem, bergulat mempertanyakan keyakinan diri masing-masing, sekaligus terus berlari dari orang-orang yang mengejar dan ingin menghabisi mereka. Mereka mencari arti dari sepenggal masa lalu, arti kuasa yang satu, dan mereka pun belajar melupakan, juga memaafkan.
Kerumitan cerita diuraikan dengan alur filmis, ke masa lalu dan masa sekarang, dalam kemasan setting di berbagai belahan dunia dan penggalan waktu yang kompleks. Dari berbagai sumber yang diperoleh didapat informasi bahwa novel ini merupakan pengalaman pribadi si pengarang. D. Jayadikarta pernah bekerja di sebuah manufakturing di Bandung, dan novel ini banyak terinspirasi dari pengalaman-pengalamannya selama bekerja di sana.
Multikulturalisme dalam totem terbentuk dari tiap-tiap potongan alur cerita. Seperti pada awal cerita terdapat istilah-istilah jawa yang berupa kata yang pendek seperti istilah Jawa, “Niladruka, Mustika Maharani, lobrok, montor keblak, dan banyak lagi yang istilah lain. Selain itu, ikut terdapat juga kalimat dalam bahasa Inggris yang ditampilkan lewat percakapan antara Ayudia dan Ronald Algate, suaminya.

Perlukah Novel Populer seperti Totem Menjadi Bahan Pengajaran di Sekolah?
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa untuk melegitimasikan sebuah sastra dalam dunia pendidikan tidaklah mudah. Karya sastra tersebut harus disahkan atau dikanonkan. Karya tersebut harus lulus sensor dari pemerintah tentunya. Hal-hal yang pasti merugikan pemerintah bahkan merusak wibawa pemerintah senantiasa dihindari meskipun karya tersebut bermutu tinggi.
Seperti yang dialami pada karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer, dan mengapa penerbit yang dikuasai pemerintah tak sudi menerbitkan karya-karyanya. Sampai saat ini, karya-karya tersebut belum dijamah oleh dunia pendidikan, dan pengajar secara khususnya merasa segan untuk mengambil karya-karya yang demikian itu untuk dikaji. Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi sastra? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwa-fatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A. Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri baru menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana sastra Indonesia 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi tugas pengajar untuk bias menampilkan wajah sastra Indonesia selengkap mungkin. Dan, kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi factor politik cukup besar pengaruhnya. Ini misalnya, bias kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin. Setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, factor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar yang menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap.
Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca karya-karya puncak yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.
Problematika yang dihadapi dalam dunia sastra ialah bagaikan sebuah uang logam yang mempunyai sisi-sisi yang berbeda. Sisi nominal menggambarkan nilai estetika karya sebagai karya sastra, sisi lambang garuda ialah peraturan pemerintah dan konvensi yang telah disepakati pemerintah. Untuk mendobraknya kita memerlukan kehadiran H.B. Jassin-H.B. Jassin yang baru dalam kancah dunia kritik sastra Indonesia agar karya-karya bermutu seperti novel Totem dan karya-karyanya Pramoedya mendapat tempat khusus dalam pengajaran sastra di sekolah.


Daftar Rujukan:
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984.
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2004.
Dewanto, Nirwan.Dalam Bayangan Kanon Sastra. Kompas 25 Januari 1995 hlm.17
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan. 1988.
_____. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera. 2001a
_____. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. 2001b.
Heryanto, Ariel. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. 1985.
_____. .Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir dalam Prisma . Jakarta: LP3ES. No. 8 Tahun XVII. 1988.
Jayadikarta, D. Totem. Yogyakarta: Bentang. 2006.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia. 1993.
Mahayana, Maman S. Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta:Bening Publishing. 2005.
Mohamad, Goenawan, Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Pradopo, Rachmat Djoko. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Sobary, Mohammad. Kebudayaan Rakyat. Yogyakarta: Bentang. 1996.
Sumardjo, Jakob. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1982.
Teeuw, A. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan. 1952.

Kamis, 28 Mei 2009

laporan seminar di UI

PEREMPUAN WALIKOTA KARYA SURYATATI

Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kembali mengadakan seminar sastra, kali ini bekerjasama dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Yayasan Panggung Melayu dalam acara Peluncuran, Diskusi Buku, dan Pentas Puisi Perempuan Walikota Karya Suryatati yang diselenggarakan pada hari Rabu, 27 Mei 2009, Pukul 13.00-17.00 WIB di FIB-UI, Depok.
Buku ke-2 kumpulan puisi penulis yang berjudul “Perempuan Walikota” ini merupakan ungkapan rasa seorang perempuan terhadap pandangan maupun perlakuan yang diterimanya selama mengemban tugas sebagai Kepala Daerah di sebuah Kota Otonom yang berumur masih dibawah 10 tahun, namun kehidupan di kota itu sendiri sudah dikenal sejak 1784 yang lalu.

Dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis tak terbatas, dari masyarakat yang ramah menjadi pemarah, dari masyarakat yang manut menjadi masyarakat yang kepincut, dari masyarakat yang suka bergotong royong yang mulai mengarah ke masyarakat yang individualis ikut mempengaruhi Gaya Kepemimpinan seseorang.

Oleh sebab itu, sebagai ragam kejadian yang rasanya tak mungkin terjadi di waktu Orde Baru dapat menjadi era Reformasi. Tentu ada dampat positif dan negatifnya bergantung kepada diri kita sendiri untuk memetik hikmahnya.
Dari beragam peristiwa, sikap dan perilaku yang penulis amati tersebutlah buku kumpulan puisi ini coba merekamnya melalui rangkaian kata demi kata yang terjalin dan berpilin yang kadang-kadang ada yang sedikit nyeleneh.
Dalam acara ini juga dihadiri oleh penulis berbagai buku sastra, Maman S Mahayana sebagai moderator dan Tommy F Awuy, seorang dosen di FIB-UI, sebagai pembicara.

Tentang Novel Populer Indonesia

a. Historis
Historis novel populer dimulai pada tahun 1890-an. Berawal dari nama cerita ‘roman medan’. Dikotonom tersebut memiliki unsur-unsur bahasa yang mudah dicerna atau disebut pada saat itu dengan bahasa pasaran. Penulisnya merupakan bukan asli keturunan Indonesia melainkan Cina campuran.
‘Sobat anak-anak’ menjadi karya pertama dalam karya populer yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Konsumen karya tersebut terbatas hany dikalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9.2) Dikotonomi semula diubah dengan nama Roman Pitjisan.
Konotasi sedikit negatif menjadi interpretasi awal bagi pembacanya.pada saat itu sehingga kurangnya perhatian terhadap sastra populer. Akibatnya para peneliti juga kurang meminati karya-karya sastra populer sebagai bahan objek penelitian. Bahkan satu peilaian negatif untuk karya populer adalah kurang bermutu dalam segi isi.

Dikotonomi antara novel populer dengan novel sastra adalah novel serius dan novel tidak serius. Hal ini dapat dilihat dari isinya. Novel sastra lebih bertendensi terhadap suatu ideologi, sementara novel populer atau novel tidak serius mengalami monoton tema, yakni berada dalam ruang seks, cinta, keluarga, dan problematika sekolah atau kampus. Tetapi memperbandingkan novel populer dengan novel sastra merupakan hal tidak setara dalam nilai estetika. Merki pun estetika relatif dalam penilaian, ada satu kesimpulan yang khusus dalam argumentasi estetika.
Timbulnya permasalahan dari kedua dikotonomi ini seperti memberikan ruang batas terhadap kebebasan penulis. Walau pun mengkaji suatu novel sastra dengan memperbandingkan novel populer tidak secara langsung menempatkan penulis novel populer sebagai penulis yang termajinalkan. Bahkan dalam waktu aktual, novel populer berkembang lebih pesat dari pada novel sastra. Dalam suatu pengkajian karya, hal penjustisan akan muncul melihat secara komprehensif didalam prosesnya.
Dalam historis, novel populer fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970-an misalnya muncul karya Ali Topan Anak Jalanan yang menghebohkan penikmat novel. ‘Ali Topan Anak Jalanan” seperti sebuah sihir dari penulisnya, karena mampu mengangkat konotatif novel populer menjadi positif. Sementara pada tahun 1980-an merupakan tahun kejayaan kedua pasca kemerdekaan bagi penulis dan penikmat novel populer dengan hadirnya sebuah karya berjudul ‘Lupus’. Namun seiring dengan waktu, pada tahun 1990-an, novel populer mulai tenggelam. Hal tersebut karena mulai timbulnya televisi-televisi swasta. Memang secara ekonomi, televisi lebih ekonomis dibandingkan karya-karya berupa buku.



b. Novel populer dan pemerintah
Pada masa-masa penjajahan Belanda, banya terbitan-terbitan media cetak mendapat kontroling yang ketat oleh pemerintah. Indikasi hal tersebut dapat terlihat dari munculnya Nota Rinkes. Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, dan tidak berpolitik (Teeuw 1955:57 – 60) Hal ini membuat dunia penulis tidak ekspresif dalam segi kreatifitas penulis, bahkan untuk mencapai eksperimen. Pada zaman itu, Balai Pustaka menjadi legitimator karya-karya sastra, baik novel populer mau pun novel sastra, karya yang ingin didistribusi.
Dan, pada masa orde baru karya-krya yang didistribusi atau pencapaian ke konsumen, semakin ketat ruang geraknya oleh pemerintahan saat itu. Indkasi terlihat dari penangkapan-penangkapan sastrawan, salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya telah melanggar Nota Rinkes. Sementara itu, fiksi populer dengan sengaja dibiarkan oleh pemerintah masa lalu. Bukan saja karena wacana yang diangkat tidak mengganggu status quo, tetapi bahkan memberikan hiburan ringan kepada masyarakat agar melupakan atau lalai dari realitas sesungguhnya. Fiksi populer tidak mengondisikan masyarakat untuk bersikap kritis. Kalau sikap kritis itu ada, hal itu tidak lebih sebagai ajang kompromi secara imajinasi. Pada posisinya yang lain, sastra populer tidak lebih sebagai ajang komoditas belaka, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan menempatkan penulis sebagai buruh serta masyarakat sebagai pasar
sastra populer cenderung menjual keinginan dan mimpi, masyarakat dieksplitasi untuk mengonsumsi sesuai dengan selera impian yang sedang ngetrend. Dan pada gilirannya yang terjadi adalah bahwa mimpi-mimpi itu tidak lebih sebagai komoditas belaka. Asumsi bahwa sastra populer pada akhirnya tidak lebih sebagai komoditas ini merupakan salah satu keberatan lain terhadap merebaknya sastra populer. Masyarakat hanya dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal, para penulis tidak lebih sebagai buruh.

Faruk HT: Sastra Bukan Tempat Sunyi Lagi

Sastra Islami dalam beberapa tahun belakang ini sedang laku keras. Apakah fenomena sastra islami akan mengukuhkan genre yang kuat dalam dunia sastra Indonesia atau sekadar tren?

faruk htDr. Faruk, S.U., kritikus Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai sastra islami sebagai karya populer. Yang disebut sastra populer di Indonesia, kata Faruk, agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama.

Sastra dewasa ini dalam pandangan Faruk, cenderung ke arah kolaboratif. Sastra sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan.

Faruk HT saat ini mengajar di almamaternya Jurusan Sastra Indonesia UGM. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM. Faruk telah menulis sejumlah buku. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra (1989), Pengantar Sosiologi Sastra (1993), Pertarungan Tak Kunjung Usai (1995), Hilangnya Pesona Dunia (1999), Women Womeni Lupus (2000), dan Beyond Imagination (2001). Muhamad Sulhanudin dan Wiwik Hidayati mewawancarainya pada Juni 2007 di Gadjah Mada Medical Centre (GMC).

Bagaimana pandangan anda mengenai pesan moral dalam karya sastra?
Kalau kita mendengarkan lagu-lahgu Jawa, tembang-tembang moral, itu isinya pesan-pesan moral, dan itu tak ada masalah. Dalam konteks sastra modern agak berisiko kalau banyak pesan moralnya. Orang sekarang lebih suka hiburan daripada banyak ajaran. Bahkan sebenarnya banyak ajaran yang disampaikan dengan menghibur. Ini juga masalah. Masalahnya, apakah sejenis dakwah yang berisi hiburan, atau sejenis sastra yang diisi dakwah. Kalau dia sejenis dakwah yang disampaikan dengan hiburan, ini artinya degradasi. Sebenarnya bukan apakah sastra perlu moral, tapi apakah dakwah perlu mengibur. Itu bukan kemajuan, tapi kemunduran bagi dakwah.

Masalahnya bagi karya sastra?
Itu problematik. Dia bisa dimasukkan dalam kategori sastra pop. Ini tren. Tapi yang paling penting bahwa masyarakat Indonesia mayoritas islam dalam tanda petik. Banyak islamnya. Yang namanya sastra populer di Indonesia otomatis agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama. Jadi bagaiamana agama itu menjadi komoditas.

Lalu, jika dakwah disampaikan dalam medium sastra?
Sekarang dakwah itu macam-macam. Ada Aa Gym, Bukhori, semuanya itu dakwah. Problemnya itu bukan di sastra, tapi di dakwah.

Dalam fiksi islami yang diusung oleh Forum Lingkar Pena ada pembatasan eksplorasi seks. Apakah dalam sastra memang mengenal pembatasan, misalnya tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dianggap tabu?
Dalam sastra tidak mengenal tabu. Kalau dalam FLP ada perdebatan seperti itu, berarti itu tabu dalam islam, bukan dalam sastra. Dalam sastra pengarang bebas saja.

Kalau pengarang bebas, bagaimana dengan tanggungjawab penulis terhadap karyanya?
Penulis tidak ada tanggungjawab. Tanggung jawab penulis adalah berkarya. Kalau dia tidak berkarya, berarti dia tidak bertanggunjawab.

Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya menyebut pengarang turut andil dalam kebrobrokan di masyarakat. Itu akibat karyanya yang banyak mengeksplotasi seks?
Nggak ada hubungannya kebobrokan masyarakat dengan karya seks. Kalau Aa’ Gym gimana? Taufik Ismail menganggap itu bobrok, bagi saya nggak ada maslaah. Tergantung siapa yang memandang. Itu korelatif. Penemuan-penemuan cara ber-sek, penemuan-penemuan untuk merangsang berbirahi, kalau tak ada itu, 90% laki-laki impoten. Keluarga jadi bubrah karena laki-laki tak bisa bergairah, perempuan nggak bergairah. Mereka memerlukan nonton video prono biar bergairah lagi. Daripada keluarga bercerai, lebih baik nonton video porno.

Apakah anda sepakat dengan pelabelan sastra islami? Adakah kajian khusus dalam dunia akademik mengenai sastra islami ini?
Labelling itu untuk jualan. Secara konseptual saya kira itu lebih dekat denga dakwah. Pelabelan itu hanya orang jualan. Islam itu pasar. Dakwah itu jualan. Kalau dalam dunia akademis untuk soal itu, kajiannya lebih bersifat sosiologis, bukan estetik.

Apakah sastra islami itu lantas hanya sekadar tren?
Ya, itu tren sesaat. Di indonesia, itu ciri khas. Semua cepat berubah. Orang gampang bosan. Apalagi sekarang zaman media elektronik, televisi. Cepat sekali orang gampang berubah. Periodisasi sastra di Indonesia paling lama hanya 10 tahun. Itu hanya angin lewat. Itu berulang-ulang. Hal yang sama, seperti orang seminar, temanya diulang-ulang. Yang berubah bentuknya, isinya sama. Tempatnya saja yang berubah, bentuknya sama. Kalau sebelumnya dari TV, pindah ke musik, pindah ke yang lain lagi. Sama saja.

Anda tadi menyebut sastra islami atau sastra dakwah itu sebagai karya populer. Karya populer dalam hal ini seperti apa?
Populer dalam arti menjangkau publik yang lebih luas. Yang tidak populer, itu punya publik sendiri. Publik yang lebih sedikit. Kecil. kalanganya elit.

Bagaimana apresiasi para kritikus sastra terhadap karya populer semacam itu?
Apresiasi itu bentuknya bermacam-macam. Ada apresiasi berupa pujian kritikus. Ada apresiasi dalam bentuk orang membeli buku. Orang membeli itu juga memberi apresiasi. Targetnya beda-beda. Target audiensnya beda, bentuk apresiasnya berbeda.

Apakah mungkin sebuah karya populer akan dipuji oleh kritikus sastra?
Karya populer yang mendapat pujian, bisa juga. Apalagi kalau kritikusnya dibayar. Sekarang bukan pada orangn atau karyanya, tapi pada besar kecil honornya. Sekarang pada umumnya karya yang diterbitkan oleh penerbit besar, akan mendapatkan pujian. Tergantung honornya.

Kritik yang bagus seharusnya yang seperti apa?
Kritik yang merangsang diskusi

Kalau karya populer banyak diapresiasi masyarakat, tapi kenapa kritikus kurang mengapresiasinya?
Kritikus sendiri. Audiens sendiri. Orang bangga dengan dirinya sendiri. Yang penting orang jangan serakah. Sudah laku pengen dibicarakan kritikus. Orang itu punya tempatnya sendiri. Itu sudah satu kelompok sendiri. Pembaca itu kritikus sendiri. Yang membaca sastra itu sesama sastrawan. Kategori pembaca sastra itu sekarang gelap. Kategori pembaca di dalam konteks karya sastra itu lebih tepat mengarah ke sastra populer daripada sastra yang disebut serius. Sastra serius itu persoalannya di seputar kritikus. Ia membangun duniaya sendiri. Dan pembaca dalam lingkaran sastra, kawanya sendiri. Dunia kritikus dan pembaca dalam konteks elitis, ya itu saja. Dalam lingkungan sastrawan sendiri. Kadang mereka berdebat, berkelahi.

Kalau sebuah karya sastra hanya diapresiasi oleh kritikus atau kalangan elit, apakah itu tidak terkesan ekslusif?
Mau ekslusif ya karepe, mau tidak ya karepe, kenapa sih kok repot banget. Biarin saja. Jangan meminta orang yang ekslusif untuk tidak ekslusif. Jangan meminta orang yang tidak ekslusif, untuk ekslusif. Kalau ada yang memprotes ekslusif, buat saja yang tidak ekslusif. Jalannya sendiri. Nggak ada masalah. Orang sekarang sudah harus bisa toleran terhadap perbedaan, pilihan dan sebagainya.

Bagaimana anda melihat kecenderungan sastra belakangan ini?
Sastra itu sekarang kolaboratif. Berkolaborasi dengan musik, pembacaan, pementasan, diskusi launching. Sastra kelihatanya sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan. Arahnya semua ke sana. Yang serius dan yang tak serius arahnya sama. Mencoba menghilangkan skat-skat.

Apakah dengan begitu sastra akan kehilangan esensinya?
Bisa juga. Tapi nggak ada masalah. Mau hilang ya hilang, mau nggak ya silakan.

Menurut anda, apakah karya yang muncul pada periode ini akan bertahan lama?
Nggak ada sastra yang bertahan sampai lama. Lagu-lagu pop bertahan sampai lama. Lagu nostalgia itu, tahun 50an, tahun 60an. Haryati… Karya sastra itu muncul tenggelam. Chairil Anwar kadang orang lupa, kadang inget lagi. Sama saja. Sastra sekarang, sastra dulu, sama saja akan timbul tenggelam. Bentuk, pilihan jalannya sama. Tak ada perubahan yang signifikan.

Ada sastrawan yang mengatakan problem dalam dunia sastra Indonesia sekarang karena kurangnya kritikus?
Nggak usah berharap banyak dari kritikus. Kritik saja sendiri. Sesama sastrawan kan saling mengkritik. Saingannya sastra, ya ekspresi seni yang lain. Misalnya televisi. TV itu audio visual. Lain dengan era cetak, yang jadi raja ya sastra. Lain dengan era audio visual. Di era audio visual yang jadi raja bukan lagi sastra, tapi teater, pertunjukan. Sastra itu wakil dari masyarakat aksara. Sekarang masyarakatnya sudah elektronik.

Dengan begitu apa sastra Indonesia tidak punya masa depan?
Sastra yang mau kuat itu sementara di televisi. Kalau mau banyak, televisi. Kalau mau kuat dalam arti banyak. Kalau kuat tidak dalam arti banyak, sedikit itu sudah kuat. Berdua saja itu banyak.****

Sastra dan E(ste)tika Massa (YASRAF AMIR PILIANG)

Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya, antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Dalam dunia sastra, khususnya, ada pertentangan antara "sastra tinggi" dan "sastra rendah". Metafora spasial macam ini dalam sastra digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara bentuk-bentuk sastra yang dianggap mempunyai nilai-nilai "luhur" (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang mempunyai nilai-nilai "bawah" (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan).

Perkembangan industrialisasi berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya "sastra massa" atau "sastra populer", yaitu bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika, dan selera orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari "industri budaya" (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas. Ada semacam proses "kapitalisasi", ketika sastra "dengan sengaja atau tak disengaja" menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah "komodifikasi budaya" (commodification of culture).

Konstruksi sastra sebagai bagian "industri budaya" telah mengkhawatirkan kalangan kritikus akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut memengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami, dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa.

Perkembangan bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa, dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penilaian, dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, kritikus) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yang "baik" dan yang "buruk".

Ada pula persoalan bagaimana bentuk-bentuk sastra itu dipertanggungjawabkan secara sosial, kultural, moral, bahkan spiritual. Bentuk-bentuk sastra yang membawa pesan moral, ideologi, atau agama tertentu (misalnya sastra Islami), mendapatkan tantangan untuk mampu memperlihatkan landasan estetik-etiknya (ethico-aesthetic). Berbeda dengan sastra populer yang tidak membawa nama moral, ideologi, atau agama tertentu, sastra populer "ideologis" atau "agamis" harus mampu memperlihatkan pemikiran moral ini karena bentuk-bentuk sastra itu menempatkan dirinya sebagai "representasi" nilai-nilai sosial, moral, ideologi, atau spiritual-keagamaan itu sendiri.

Ideologi popularisme

Ada relasi yang tidak dapat dipisahkan antara perkembangan industrialisasi (kapitalisme) dan apa yang disebut sebagai budaya massa (mass culture). Budaya massa adalah sebuah budaya yang berkembang seiring perkembangan industrialisasi. Sebagai bentuk produksi massa, budaya massa diproduksi untuk massa yang luas, berbeda dengan "budaya elite" (elite culture) yang hanya dikonsumsi elite kebudayaan tertentu.

Kata "massa" pada istilah "budaya massa" mempunyai konotasi positif sekaligus negatif. Istilah ini dikaitkan dengan persoalan derajat atau status tertentu dalam kebudayaan. Dalam pengertiannya yang lebih netral, "budaya massa" diartikan sebagai sinonim dari "budaya rakyat kebanyakan" (culture of people).

Terdapat tiga sikap berbeda terhadap budaya populer. Pertama, pandangan "modernis", yang melihat budaya populer sebagai bentuk kebudayaan yang merusak keluhuran budaya tinggi. Kedua, "posmodernis radikal", yang memberi ruang seluas-luasnya bagi budaya populer untuk berkembang sejajar dengan bentuk-bentuk budaya (tinggi) dalam iklim demokratisasi dan relativisme kebudayaan. Ketiga, "posmodernis pluralis" atau "kritis", yang mengakui ruang hidup bagi budaya massa, dalam skema pengakuan akan pluralisme budaya, akan tetapi menuntut tanggung jawab estetik, etik, sosial, dan kulturalnya.

Menolak sastra populer

Para pendukung modernisme, Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan W.F. Haug, menolak sastra dan budaya populer karena dibangun berdasarkan prinsip "industri budaya" (culture industry), yaitu kebudayaan yang diproduksi berdasarkan prinsip-prinsip dasar industri dan komoditas, yang tidak mendorong ke arah "pencerahan" (enlightenment). "Sastra populer", sebagai bagian "industri budaya" adalah sastra yang dikonstruksi sekelompok elite dari atas (elite penulis, produser, penerbit, pengiklan), tetapi sering mengatasnamakan rakyat, untuk membedakannya dari budaya rakyat.

"Sastra tinggi" adalah sastra yang mempunyai standar (kualitas, estetik, selera) yang tinggi, yang diciptakan berdasarkan kemampuan kreativitas dan daya inovasi yang tinggi sehingga selalu menghasilkan sesuatu yang baru (newness), yang belum ada sebelumnya. Ia adalah sastra yang dilandasi semangat kemajuan (progress), yaitu semangat penemuan terus-menerus wilayah-wilayah baru kebudayaan. Sebaliknya, "sastra populer" adalah sastra yang mempunyai standar kualitas selera yang rendah, yang hanya mengulang dan mengimitasi apa yang telah ada sebelumnya.

Sastra massa diproduksi sekelompok elite (penulis, produser, distributor) yang mencari segala cara agar karyanya diterima oleh massa luas dengan mengutamakan motif keuntungan. Karya sastra itu kini menjadi bagian dari industri kebudayaan, yang menghasilkan karya-karya yang memenuhi "selera massa". Selera itu tidak berasal dari massa, tetapi dikonstruksi untuk mereka oleh para elite produser.

Sastra populer membangun sebuah kategori estetik yang komersial, yang oleh W.F. Haug disebut sebagai "estetika komoditi" (commodity aesthetics), yaitu estetika yang melaluinya bentuk-bentuk estetik diciptakan berlandaskan motif daya tarik, keterpesonaan (eye catching) dan perhatian massa konsumer semata, dengan mengangkat berbagai bentuk daya pesona (fetishism) untuk memenuhi hasrat rendah (desire) pembaca. Sastra macam ini tidak terlalu mementingkan logika dari sebuah ekspresi, demi merayakan daya pikat dan daya pesona.

Para pemikir modernis menolak mentah-mentah eksistensi sastra dan budaya populer. Mereka ingin menjaga sifat-sifat luhur dan otonom dari apa yang disebut "pencerahan murni" modernisme. Penyucian sastra dan budaya tinggi adalah dengan melepaskannya dari cengkeraman pengaruh industrialisasi, komersialisasi, dan komodifikasi budaya, khususnya dari pengaruh estetika komoditi kapitalisme. Kaum modernis menolak sastra populer karena dianggap lebih mengutamakan penampakan luar, sifat permukaan, kekuatan menghibur, daya pesona, dan tidak terlalu memedulikan kedalaman makna. Sastra populer cenderung melakukan berbagai bentuk penyederhanaan, reduksi kultural, manipulasi pikiran ke arah imajinasi-imajinasi populer (tentang kecantikan, kesempurnaan, kehidupan utopis), tanpa didukung argumentasi logis sehingga tidak membangun massa (pembaca) yang kritis.

Merayakan sastra

populer

Sebaliknya dari kaum modernis, kaum "posmodernis radikal" justru mengakui sastra dan budaya massa sebagai bentuk ekspresi yang legitimated. Posmodernisme radikal ingin mendekonstruksi benteng pemisah budaya tinggi/budaya rendah sehingga dapat diciptakan sebuah ruang "heterogenitas sastra", dapat dihidupkan sastra-sastra pinggiran dan budaya rakyat yang sebelumnya ditolak modernisme, dengan sekaligus menolak segala bentuk pertentangan, oposisi biner, dan hierarki budaya.

Dengan mendekonstruksi tembok pemisah budaya tinggi dan budaya rendah, klaim oposisi biner tinggi/rendah, elite/populer, luhur/murahan, seni/kitsch, indah/tidak indah tidak lagi relevan. Posmodernisme radikal menuntut dekonstruksi besar-besaran konsep "sastra" dan "kebudayaan" yang tak hanya mengakui "karya luhur" atau "masterpiece", tetapi juga segala bentuk sastra dan budaya yang selama ini dipinggirkan dan direndahkan.

"Popularitas" menurut Fiske, ". . . ukuran dalam kemampuan bentuk-bentuk budaya untuk melayani hasrat konsumernya." Popularitas berkaitan dengan kuantitas, bukan kualitas. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang menentukan kualitas itu? Apakah konsumer itu sendiri, di dalam sebuah iklim demokratisasi kultural sehingga apa yang memberikan kesenangan dan kepuasan, itulah yang berkualitas? Akan tetapi, kualitas adalah sesuatu yang memerlukan "otoritas", "disiplin", atau "institusi" untuk memutuskan, bukan otoritas massa.

Akan tetapi, karena "popularitas" adalah motif utama budaya populer, ia harus mencari cara untuk mendapatkannya. Salah satu cara yang biasa digunakan adalah dengan menyesuaikan diri dengan selera dan tingkat pemahaman massa.

Karena di dalamnya makna tidak dikendalikan oleh penulis (produsen) tetapi "diproduksi" oleh pembaca (konsumer), sastra populer memberi kekuatan pada orang kebanyakan untuk menghasilkan makna dan kesenangan berdasarkan hak, pilihan, preferensinya sendiri. Sastra populer menjadi tempat menggugah "fantasi pembaca". Melalui fantasi yang mereka kembangkan dalam pembacaan, para pembaca mampu membangun "kekuatan semiotik" (semiotic power).

Kritik sastra populer

Bila posmodernisme radikal merayakan sastra dan budaya populer melalui sikap inklusif dan afirmatif, "posmodernisme pluralis" menerima sastra dan budaya populer secara argumentatif dan kritis. Kebebasan yang diperoleh harus ditunjukkan oleh tanggung jawab (responsibility) dan landasan pemikiran etik, sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya.

Penulis harus menunjukkan tanggung jawab bahasa, sastra, sosial, dan bahkan spiritual karyanya. Meskipun relasi sebuah teks dan pembacanya semakin demokratis, ketika penulis tidak lagi menjadi penguasa "makna", sementara pembaca kini mempunyai "kekuasaan" atas teks yang dibacanya, di dalam sebuah relasi yang disebut Roland Barthes sebagai "matinya pengarang" (death of author), tidak berarti bahwa pengarang dapat lepas tangan terhadap teks produksinya. Pengarang dapat menumpahkan segala imajinasi, hasrat, dan fantasinya di dalam teks, tetapi harus disertai tanggung jawab dengan mengutamakan standar kualitasnya.

Tanpa tanggung jawab, Michael Schudson melihat sebuah bahaya dalam kesusastraan, yaitu ". . . pengaburan sifat-sifat khusus teks tertulis (italic penulis) . . . (dan) romantisasi dan sentimentalisasi pembaca seakan-akan ia ada di dalam kondisi sosial tertentu yang melampaui manusia (yang tanpa salah, tanpa dosa)." Memang, para pembaca sastra dan budaya populer tidak menyerap karya sastra populer seperti busa spons, akan tetapi bersifat selektif, reflektif, konstruktif, bahkan "kreatif" dalam pembacaan. Akan tetapi, tidak berarti tingkat refleksi, kritik, atau kreativitas mereka sejajar dengan para pembaca sastra-sastra adiluhung. Kesejajaran eksistensial antara sastra populer dan sastra tinggi tidak berarti kesamaan kualitas keduanya.

Tanggung jawab penulis/produser terhadap karya sastra jauh lebih penting daripada hak pembaca dalam interpretasi. Pluralitas makna yang dihasilkan oleh pembaca tidak dapat dilepaskan dari "kualitas" teks. Tanggung jawab sastra ini semakin besar bila sebuah teks diberi label "teks moralis" (novel moral), "teks ideologis" (novel kebangsaan), atau "teks religius" (novel Islami). Teks moral, ideologis, dan religius mengemban tanggung jawab moral yang jauh lebih besar karena ia berurusan dengan "kebenaran" (truth).

Trans-kritisisme

Posmodernisme pluralis menghargai perbedaan-perbedaan di antara bentuk dan ekspresi-ekspresi sastra yang beragam, sebagai bentuk demokratisasi sastra. Akan tetapi, pengakuan akan kesetaraan ekspresi-ekspresi sastra tidak menjadikan semuanya hidup terpisah secara ekslusif dengan sistem penilaiannya sendiri (judgement system) sehingga ukuran penilaian "sang lain" (misalnya: kaum akademik) tidak bisa digunakan. Ada pandangan posmodernis radikal bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan oleh komunitasnya sendiri, dengan kriteria penilaian dan standar kualitasnya sendiri.

Bila demikian, yang tercipta adalah kembalinya "eksklusivitas kebudayaan", ketika sebuah kelompok budaya membuat benteng tinggi dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Padahal, prinsip pluralisme menolak eksklusivitas. Agar tidak menggiring pada eksklusivisme radikal itu, pluralisme memerlukan prinsip "dialogisme", yaitu proses "dialog" di antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda, dalam rangka mencapai kemajuan bersama (co-progression).

Dialog sastra menuntut keterbukaan dan inklusivitas, bukan sastra prasangka dan eksklusivitas. Dialog memungkinkan proses "pelintasan" (trans), yaitu lintas ekspresi (transexpression), lintas estetik (transesthetics), bahkan lintas kritisisme (trans-criticism). Ia menuntut pula sikap "saling belajar" dan "saling pemahaman". Menentukan karya yang baik dan berkualitas adalah melalui proses dialog itu. Setiap kelompok sastra (baik sastra tinggi maupun populer) harus terbuka dan siap untuk saling kritik, siap memberikan argumentasi yang cerdas, siap memberikan tanggung jawab, dan yang lebih penting siap untuk "saling belajar" demi kemajuan bersama. ***

Sastra populer (Oleh: Rara Handayani)

PENDAHULUAN

Analisis wacana maupun analisis isi (kualitas) sebuah karya yang muncul di media-media massa, muncul dengan berbagai pola pandang. Analisis ini merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan semisal karya sastra. Analisis tersebut akan melahirkan persepsi terhadap sebuah karya yang didalamnya terkandung berbagai nilai yang menarik bagi penikmat sastra.

Pendekatan macam ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya makna, nilai, simbol dan ideologi dalam artefak kebudayaan melalui pengamatan terhadap instrumen formal dalam teks sastra, misalnya, gaya bahasa, struktur naratif, sudut pandang, dan lain-lain. Akan tetapi ada juga konsumen sastra yang menyukai sebuah sastra karena nilai fantastis atau daya tarik karya tersebut. Nilai ini biasanya tergantung pada selera masing-masing.

analisis teks sastra kebanyakan menghubungkan tema karya sastra dengan wacana-wacana sebagai konteks yang ada dalam kehidupan dan juga estetika yang didasarkan pada kesenangan-kesenangan pembaca ketika mereka berhadapan dengan teks. Sehingga pembaca tertarik dengan karya tersebut.

Dalam kasus karya sastra, studi resepsi memungkinkan kita untuk dapat mengetahui bagaimana sebuah teks sastra diberi makna oleh pembacanya. Sastra, selama ini masuk dalam wilayah seni tinggi, yang sering dihadapkan secara berkebalikan dengan novel-novel populer. Dalam kebanyakan studi kebudayaan, keterkaitan antara teks dalam novel pop dengan pembaca memang menjadi tema yang menarik, mengingat novel-novel pop tersebut selama ini lekat dengan stigma hiburan, ringan dan memanipulasi emosi pembaca. Novel pop, sama halnya dengan film-film drama yang romantis. Dianggap menjadi salah satu hal yang membentuk impian perempuan terhadap kisah cinta yang romantis dan dramatis.

Dalam studi resepsi terhadap karya-karya sastra (kanon), tampaknya semangat “perlawanan” dan negosiasi ini atas makna-makna kultural tidak muncul sebagai sesuatu yang ditonjolkan betul. Karena dianggap hasil kebudayaan yang lebih bermutu dan serius, sastra jenis ini dinilai lebih bisa mewakili realitas kehidupan masyarakat sekaligus menjadi refleksi sosial.

nilai-nilai dominan yang direpresentasikan produsen, seperti pada studi atas budaya (termasuk di dalamnya sastra) pop, melainkan, menurut hemat saya, adalah bagaimana para pembaca memaknai peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan yang dihadirkan dalam sebuah karya sastra, dan apakah pada akhirnya terbuka ruang-ruang dialog antar para pembaca itu sendiri. Sehingga kritisme pembaca terhadap realitas sosial bisa mendapatkan ruang yang cukup memadai? Sehingga konsumen pengunyah sastra menyukai sastra tersebut.

Perkembangan industrialisasi (produksi, komunikasi dan konsumsi massa) berperan besar dalam memberikan ruang bagi tumbuhnya `sastra massa’ atau `sastra populer’, yaitu bentuk-bentuk sastra yang mempunyai akar pada kebutuhan, cara berpikir, pengetahuan, problematika dan selera orang-orang kebanyakan (people). Sastra macam ini menjadi bagian dari `industri budaya’ (culture industry), yang diproduksi untuk massa yang luas melalui pola-pola industrial. Ada semacam proses `kapitalisasi’, di mana sastra—dengan sengaja atau tak disengaja—menjadi tempat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, di dalam sebuah `komodifikasi budaya’ (commodification of culture).

Konstruksi sastra sebagai bagian `industri budaya’, telah mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra akan terciptanya sastra yang berbasis pada logika industri. Tentu saja, karya sastra—atau produk-produk kebudayaan lainnya—tidak dapat disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi, logika industri itu setidak-tidaknya ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi, telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa itu sendiri.

ANALISIS NOVEL LASKAR PELANGI

Laskar Pelangi adalah novel pertama karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2005. Novel ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah:

1. Ikal
2. Lintang; Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara
3. Sahara; N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah
4. Mahar; Mahar Ahlan bin Jumadi ahlan bin Zubair bin Awam
5. A Kiong;Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman
6. Syahdan; Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz
7. Kucai; Mukharam Kucai Khairani
8. Borek aka Samson
9. Trapani; Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari
10. Harun; Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan

Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Pada bagian-bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.

Laskar Pelangi adalah karya pertama dari Andrea Hirata. Buku ini segera menjadi Best Seller yang kini kita ketahui sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.

Cerita terjadi di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur. Dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jikalau tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.

Mulai dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah!

Mereka, Laskar Pelangi – nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi – pun sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi ini!

Suatu hal yang menarik dalam novel ini adalah Dalam novel yang berjudul Laskar Pelangi ini penulis mengisahkan sebuah cerita tentang arti persahabatan, tidak hanya persahabatan saja yang diceritakan oleh penulis, tetapi juga berbagai pengalaman dan imajinasi yang menarik serta berbagai pengorbanan dan semangat seseorang yang selalu dihadang kesulitan untuk mencapai cita-citanya. Dan masih banyak lagi hal lain yang dialami sang tokoh. Dalam konteks ini kemiskinan merupakan masalah utamanya. Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Belitong yang bersekolah di Muhammadiyah adalah anak-anak melayu yang miskin, namun walaupun demikian semangat dan kemauan mereka untuk bersekolah sangat tinggi. Mereka sangat bersyukur karena masih bisa diterima di sekolah Muhammadiyah, salah satu sekolah yang ada di pulau itu.

Rekaman sastra seperti noverl memberikan berbagai macam gambaran kehidupan masing-masing tokoh. Gambaran kehidupan berbeda-beda walaupun sebuah novel itu dikarang oleh pengarang yang sama. Hal itu tergantung pada alur cerita yang dibuat, karena dari alur cerita kita bisa mengambil kesimpulan yang akhirnya bisa menimbulkan berbagai persepsi dari pembaca.

Novel ini dimulai dengan menceritakan sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sebuah sekolah yang sangat berarti bagi 11 anggota kelompok Laskar Pelangi dalam novel ini. Sekolah yang sederhana dan serba kekurangan ini memberikan kekuatan bagi kelompok Laskar Pelangi. Para guru di sekolah ini membawa kesan yang mendalam yang secara lansung tidak bisa dilupakan oleh kelompok siswa ini. Guru-guru yang mengajar mereka seperti Bu Mus dan Pak Harfan Efendi membuat mereka akan selalu mengingat jasa beliau, dengan pengorbanan dan semangat yang menggebu-gebu diberikan membuat mereka merasa lebih berani dan tertantang melakukan sesuatu hal yang baru. Sekolah dan jasa guru di sekolah ini membawa kenangan mais bagi mereka, yang pada akhirnya membawa AKU pernah menginjakkan kaki di Almamater Sarbone, sampai berjaya.

PENUTUP

Perkembangan bentuk-bentuk sastra yang berbasis selera massa, produksi massa dan konsumsi massa telah menimbulkan berbagai kontradiksi menyangkut standar ukuran, metode penilaian (judgement), penerimaan (reception) dan otoritas dalam pengelolaan, penilaian dan penyaringan karya sastra. Muncul berbagai kontradiksi antara bakuan-bakuan penilaian sastra sebagaimana dikembangkan oleh
lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mempunyai otoritas penilaian (perguruan tinggi, dewan kesenian) dan model konsumsi, pembacaan (reading) dan pemaknaan yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Muncul kontradiksi untuk mengatakan mana sastra yangN ‘baik’ dan yang ‘buruk’ atau ‘populer’ tidak ‘popeler’.

Istilah budaya massa juga sering disamakan dengan istilah `budaya populer’ (popular culture), disebabkan kata `populer’ juga menunjuk pada pengertian `rakyat kebanyakan’ dan standard estetik rendah. Misalnya, novel populer atau majalah populer, yang dianggap bermutu rendah, untuk membedakannya dengan novel atau majalah bermutu tinggi dan dalam. Budaya populer menunjuk pada budaya dengan standard rata-rata dan selera orang biasa (ordinary people) yang diproduksi
secara massal, untuk membedakannya dengan budaya elit atau kelas atas, yang diproduksi secara khusus. Dalam hal ini, kata `populer’ biasanya dikaitkan dengan kelompok mayoritas yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu di dalam sebuah pola industri budaya.

Sastra dan budaya populer dibangun setidak-tidaknya oleh tiga prinsip. Pertama, imajinasi populer (popular imagination), yaitu imajinasi dan fantasi-fantasi bersifat murahan, picisan, banal, vulgar tentang cinta, nasib, gaya hidup, sebagai cara menarik perhatian `massa populer’. Kedua, komunikasi populer (popular discourse), yaitu berbagai bentuk komunikasi bersifat dangkal, permukaan, menghibur ketimbang mencerahkan dan memberi wawasan pengetahuan. Ketiga symbol populer (popular symbol), yaitu simbol-simbol tentang kecantikan, kegagahan, kesuksesan, kebahagiaan bahkan kesalehan, yang ditampilkan pada tingkat permukaan.

Senin, 25 Mei 2009

Ustaz, Pastor, dan Guru

MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda
atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau
klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif,
makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para
guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.

Makna kata inilah yang menjadi acuan Ayatrohaédi ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu
yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan
umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru
agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol
kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di
sekolah umum.

Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja
asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu,
Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan
pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan
kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna
kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam
struktur keagamaan permanen.

Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai
pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan
pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen,
seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam
dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.

Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen,
pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan
punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa,
sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota
tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak
menikah.

Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan
imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan
pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai
dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama
Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu,
Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih
"demokratis".

Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya)
mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto
sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di
universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian
mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal,
kontekstual, atau konotatif.

F Rahardi Penyair

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra
ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran
sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.

Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta'
massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau
menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai
molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia
berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak
berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika
hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju,
atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra?
Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis,
mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak
pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua
sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan
pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia
yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan:
rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.


Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun
juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori
sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara
menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah,
atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali
lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain
yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari
Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam
suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah
sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh
bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur
berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah
selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah
terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal
ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya
Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti
Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas
pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga,
bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan
dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah
rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih
menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya
sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas
realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas
pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai
memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah
ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme,
bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai
sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah
mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena
terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan
hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang
tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas. n penulis adalah penyair dan eseis, tinggal di bandung.


Oleh: Herwan FR

Sumber: Republika Online

'Menonton'' Naskah Lakon Mencari Ruang

Sangatlah menggembirakan mendengar kabar terbitnya buku kumpulan drama Mas Ruscita Dewi berjudul ''Rumah
Bunga''. Di tengah sepinya minat terhadap naskah drama atau naskah lakon, tentu saja penerbitan buku kumpulan drama
ini pantas diacungi jempol. Sebab, dalam hitungan kapital, buku sastra yang diminati saat ini berkisar pada prosa --
cerpen dan novel, sedikit puisi, dan minus drama.

TIDAKLAH berlebihan dikatakan, kreator dan publik sastra saat ini ibarat ''menonton'' naskah lakon mencari ruang.
Menonton memang belum berarti pasif, bahkan dalam konsepsi teater, menonton adalah aktivitas ''bersaksi'' yang
membutuhkan konsentrasi dan energi luar biasa. Namun dalam konteks naskah drama, menonton di sini berarti pasif,
tanpa greget dan minat. Begitu pula dengan ruang, tidak sebatas ruang pertunjukan tempat di mana naskah lakon
diusung, namun mencakup ruang-ruang lain, semacam wilayah publikasi tempat kreator bisa menyosialisasikan
karyanya, dan publik bisa mengaksesnya. Ruang ini pun ternyata telah hilang.

KEBERADAAN naskah drama, sesungguhnya tidak dapat diabaikan dari jagad teater tanah air. Apabila dirujuk pengertian
teater modern dan teater tradisional di Indonesia, salah satu unsur pembeda yang utama adalah ada atau tidaknya
naskah yang dimainkan. Jamak diketahui bahwa teater tradisional menjumpai publiknya berdasarkan cerita yang
berkembang di tengah masyarakat (sastra lisan), kemudian dimainkan dengan tingkat spontanitas dan improvisasi yang
tinggi. Sebaliknya, teater modern -- meminjam ungkapan Goenawan Mohamad (1981) -- memiliki ''kerangka situasi''
berupa naskah drama yang menempatkan kerja artistik dan produksi teater tidak sekadar improvisasi.

Akan tetapi, pentingnya naskah lakon sebagai bagian dari teater Indonesia kurang disadari. Naskah seolah-olah hanya
bagian dari sastra an-sich, sementara di dunia sastra sendiri naskah identik dengan teater. Akibatnya, sedikit sekali
sastrawan yang bergiat di lapangan penulisan naskah, mungkin karena menganggap naskah lakon lebih merupakan
wilayah teater. Sebaliknya, tidak banyak pula teaterawan yang menulis naskah sendiri, karena kentalnya anggapan bahwa
penulisan, termasuk naskah drama, lebih merupakan wilayah sastra. Silang-sengkarut ini pernah diakui N. Riantiarno,
dalam sebuah diskusi di Yogyakarta (2003).

Oleh karena itu tidak perlu heran, dibandingkan puisi, cerpen dan novel, genre sastra lakon di tanah air relatif ketinggalan.
Secara kuantitatif misalnya, buku "Horison Sastra Indonesia" terbitan Majalah Sastra Horison (2001) yang terdiri dari
''empat kitab'' mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan. Dalam hal ini,
pernyataan Boen Sri Omariati (1971; dua dasawarsa lalu!) masih berlaku, yakni tentang sastra (di) Indonesia yang baru
menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis, belum ada dramaturgi.

Selain itu, kecenderungan kelompok teater di Indonesia yang lebih memilih naskah asing (terjemahan, saduran) daripada
naskah asli secara tidak langsung ikut memunculkan krisis naskah drama Indonesia. Hal ini pernah dibicarakan dalam
diskusi tentang ''naskah pribumi'' yang diadakan Yayasan Senthong Seni Bangunjiwa Yogyakarta, bulan April 2002 yang
menghadirkan Heru Kesawa Murti, Hanindawan dan Dra. Yudiaryani, MA, sebagai pembicara. Dalam diskusi tersebut
terungkap antara lain bahwa dramawan kita belum sepenuhnya bebas dari rasa phobi yakni menganggap naskah asing
lebih ''agung'' daripada ''naskah pribumi'', di samping faktor lain seperti kurangnya media publikasi bagi naskah drama
serta mulai renggangnya ''tegur-sapa'' antara sastra dan teater.

Situasi ironis seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila disadari hubungan yang signifikan di antara keduanya.
Dalam kerangka yang lebih luas, hubungan teater dan sastra terkukuhkan oleh istilah drama. Henry Guntur Tarigan
(1984), merujuk buku "Webster's New Collegiate Dictionary" menyatakan bahwa drama merupakan karangan berbentuk
prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon. Dalam konteks ini, drama memiliki pengertian
sebagai theatre atau performance. Selain itu, ada pula naskah yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi
panggung. Drama jenis ini dikenal dengan sebutan textplay atau repertoir atau closet drama. Apapun istilahnya, yang jelas
sastra dan teater memiliki hubungan yang erat, terlebih pada drama sebagai theatre atau performance.

Tidaklah berlebihan ungkapan Hasanuddin WS (1996) bahwa drama merupakan karya dalam dua dimensi, yaitu sebagai
genre sastra dan sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan. Kemudian Boen Sri Oemarjati (1971) menyatakan
pula bahwa sejarah drama di Indonesia tidak bisa lepas dari pembicaraan sejarah kesusastraan Indonesia. Hal ini dapat
dilihat pada sejumlah karya dan sosok sastrawan/dramawan di Indonesia, selain dikenal sebagai seorang sastrawan,
tidak jarang mereka adalah juga seorang dramawan atau sebaliknya. Nama-nama seperti Putu Wijaya, N. Riantiarno,
Arifin C. Noer, Wisran Hadi, Saini KM, WS Rendra, Mohamad Diponegoro dan lain-lain, merupakan sastrawan dan
sekaligus dramawan, tidak saja karena mereka pendekar di dunia sastra, serta memiliki grup teater yang aktif, akan tetapi
juga dikarenakan karya-karya drama mereka memiliki orientasi panggung yang kuat.

Merujuk pada dua jenis pengertian drama di atas, maka karya-karya mereka tersebut tidak hanya berhenti sebagai closet
drama tetapi juga sebagai performance. Ini bukan berarti, naskah-naskah jenis textplay seperti yang ditulis Nasiah Djamin,
Kirdjomuljo, B. Soelarto, Sitor Situmorang, Ali Audah, Motinggo Busje, Iwan Simatupang, Bakti Soemanto dan lain-lain tidak
memberi sumbangan bagi hubungan sastra dan teater tetapi keadaan ini semestinya lebih memicu munculnya variasi
hubungan yang lebih memperkaya keberadaan naskah drama Indonesia.

Akan tetapi kini, naskah sebagai ''kerangka situasi'' boleh dikatakan tanpa situasi; tidak ada upaya untuk mengkondisikan
iklim kreatif ke arah lahirnya naskah drama kita.


IRONISNYA, semua itu terjadi justru di tengah maraknya dunia sastra Indonesia, baik penciptaan maupun publikasi. Puisi,
cerpen dan novel, terus lahir dan berkompetisi, sedang naskah drama seperti tidak ikut ambil bagian. Salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya media publikasi yang mau menampung karya drama, sebagaimana pada genre sastra
yang lain. Selain itu, kreator yang tertarik menekuni penulisan naskah relatif sedikit, termasuk faktor publik Indonesia yang
tidak terbiasa membaca naskah drama.

Ada memang lomba naskah drama seperti dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, namun kalah pamor dibanding prosa.
Indikasinya antara lain, pemenang naskah rata-rata kreator ''tua'' dan nyaris itu-itu saja orangnya, berbeda dengan prosa
yang memunculkan nama-nama baru dari kalangan muda. Artinya, tidak terjadi proses regenerasi pada penulisan naskah
lakon. Kemudian novel yang menang pastilah diterbitkan menjadi buku, sedang naskah lakon silakan dimakan ngengat
atau tergeletak di rak berdebu.

Dalam konteks ruang ini pula, menarik melihat situasi zaman. Apabila dilihat sekilas, pada zaman tersebut mestinya
naskah drama mengalami krisis pertumbuhan atau bahkan mungkin mati. Hal ini terkait dengan refresifnya pemerintahan
fasis Jepang terhadap perkumpulan, event dan aktivitas seni-budayanya. Namun, apa yang terjadi sungguh di luar
dugaan. Menurut Boen Sri Omerjati, zaman Jepang (1926-1942) memang refresif, tetapi pertumbuhan naskah drama
Indonesia justru tercatat paling subur. Salah satu faktornya adalah keberadaan para kreator yang tidak mudah menyerah,
sebaliknya mampu memanfaatkan setiap peluang dan ruang yang ada.

Padahal awalnya, penulisan naskah pada zaman Jepang dimaksudkan sebagai upaya sensor karena setiap kelompok
teater yang akan pentas harus menyerahkan naskahnya terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Lewat cara inilah
sensor dengan mudah dilakukan. Tapi situasi refresif disikapi oleh kreator Indonesia, salah satunya dengan strategi
menulis lakon yang menggambarkan suasana perjuangan bangsa Asia khususnya dalam menghadapi perang dunia
kedua. Jepang tidak mungkin menyensor karena cocok dengan semangat ''Asia Timur Raya'' yang dikobarkannya. Namun
di balik itu, semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dikobarkan pula, sekaligus ratusan naskah
drama tercipta. Inilah yang dilakukan oleh Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, El-Hakim, Usmar Ismail,
Idrus dan lain-lain. Mengapa sekarang, di tengah semaraknya sastra Indonesia dan adanya kebebasan berekspresi,
naskah drama malah terlupakan?

Padahal pula, sastra Indonesia dewasa ini, memiliki ''keunikan'' tersendiri, khususnya dalam publikasi. Salah satu yang
menarik adalah keberadaan ''sastra koran''. Seorang peneliti sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel (2003)
mengatakan, di Barat tidak dikenal istilah ''sastra koran'', akan tetapi Indonesia mengenalnya. Hal ini mestinya dapat
dibaca sebagai peluang positif ke arah penulisan kreatif, setidaknya sebagai bahan perbandingan yang dapat memotivasi
penulisan naskah drama.

Sebagaimana diketahui, sastra koran terbukti mampu melahirkan banyak karya sastra, seperti puisi, cerpen dan novel,
tapi, sekali lagi, tidak naskah drama. Dari media publikasi misalnya, hampir setiap koran (khususnya edisi Minggu)
memuat puisi, cerpen dan novel (cerita bersambung), sedangkan rubrik naskah drama sama sekali tidak ada. Begitu pula
majalah dan jurnal sastra yang terbit di Indonesia, seperti Horison dan Kalam, memang sesekali memuat naskah drama
Indonesia, namun itu sangat jarang terjadi. Ketika media sastra memasuki babak baru dengan maraknya penerbitan buku
(sastra), khususnya prosa yang konon cukup laku di pasaran, naskah drama tetap tak punya ruang sosialisasi. Sesekali
naskah drama memang terbit juga sebagai buku, sebagaimana dilakukan Penerbit Angkasa (Bandung) dan Yayasan
Untuk Indonesia (Yogyakarta), tetapi tidak sebanding dengan buku cerpen dan novel.

Dalam hal ini alasan pasar sering menjebak bahkan sudah menjadi sangat klise, padahal apa pun alasannya, ketiadaan
media sosialisasi bagi naskah drama berarti adalah kemunduran. Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater
tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama
sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama
sangatlah kurang sehingga penerbit mesti berpikir tiga kali sebelum menerbitkan buku drama, bahkan redaktur majalah
atau surat kabar juga ikut demikian.

Situasi ini justru berbeda jauh dengan zaman Pujangga Baru sampai tahun 1960-an ketika naskah drama memiliki media
sosialisasi yang setara dengan genre sastra lainnya. Berbagai majalah menyediakan ruang yang luas untuk itu, bahkan
jika perlu sebuah edisi semuanya berisi naskah drama. Majalah Budaya, Siasat, Indonesia, Seni, Aneka, Teruna Bakti dan
Minggu Pagi merupakan sederet majalah yang memiliki rubrik khusus untuk naskah drama. Pada tahun 1980-an, Harian
Kompas pernah memuat drama ''Panembahan Reso'' karya Rendra sebagai cerita bersambung, tapi sayang tidak
dilanjutkan dengan naskah lakon lainnya.

Tentu saja kelangkaan atau ketiadaan ruang publikasi secara tidak langsung mengurangi minat orang pada naskah
drama (kreator, publik, peneliti, dan sebagainya). Memang hal ini tidak berarti kiamat. Sebagai karya dua dimensi (sastra
dan teater), naskah drama memang tidak mutlak hidup dari ruang publikasi sastra semata, karena naskah drama,
khususnya yang bersifat performance, bisa hidup di panggung teater. Panggung inilah yang akan mengusung sebuah
naskah kepada audiensnya. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin sebuah naskah akan lahir di tengah iklim kreatif yang
kurang sehat dan tak adil? Ini tantangan bagi kita semua.

Oleh: Raudal Tanjung Banua, alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta, dan Koordinator Komunitas Rumahlebah
Sumber: Bali Post

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di
Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat
terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh
yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat
terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.

Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam
peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya
tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut
oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi
dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas
para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman
pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di
mana pun.

Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan
seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka
sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang
memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin
membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini,
menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh
kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai
amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan
karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis
berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani
Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena
keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan
sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang
munafik hingga yang seronok.

Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun
penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-
siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis
sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam
karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus
massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi
seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap
pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya
terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani
dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas
masyarakat.

Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan
berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan
konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan
roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh
para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-
karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka
masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi
batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya
menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot
moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’
batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan
keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi
tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz
digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan
hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas
untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam
hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan
pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk
menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain
menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang
konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan
krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita
serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa
seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan
moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya
tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu
kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa
dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah
pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah
ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan
posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi
mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka
sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari
dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam
mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda
yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian
jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat
terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua
penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan
alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia
besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang
didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi
mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra
menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya
dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang
gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya
pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua
penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede
Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para
petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan
mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra
dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita.

Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini
sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar
kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat
berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka.
Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi
ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas
moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping
kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan
seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.

Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang
ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar
bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya
dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan
ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-
karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah
mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang
tidak dapat dikompromikan. *

Richard Oh Direktur Toko Buku QB
Sumber: Kompas Cyber Media

Sastra yang Tidur dalam Kulkas (Saut Situmorang)

”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu
ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah
memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan
Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek
Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat
baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap
bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di
antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.

Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka
pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya
sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan
populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par
excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan
kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!

Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”
bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk
membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas
apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang
fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya
membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di
manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra
Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu
dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra
Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra
supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?

Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di
Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah
dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya
pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai
esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan
menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah
cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!

Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada
pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang
mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta
dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang
memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The
Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju,
Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”
membaca” bukunya itu, bukan?

Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra
Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu
sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai
novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi
sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat
tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah
pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa
sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan
budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang
sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”
fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!

Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti
pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas
yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk
menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media
massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas
sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam
esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di
Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!

Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang
menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra
kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”,
sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa
di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”
daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain,
majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media,
19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang
dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan
Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam
kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim
diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!

Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan
hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup
kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus
sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka
tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi
sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel
berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang
semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang
selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar”
juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia
tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim
sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya
hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia
juga.

Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa
menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang
pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan
Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.

Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik
sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik
adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah
menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima
dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di
Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik
juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair
Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak
penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para
penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin”
dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin
membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak
perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.

Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan
politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang
seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti
diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa
menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel,
begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari
sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra
yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang
dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.


Oleh: Saut Situmorang, penyair dan esais, tinggal di Jogjakarta.
Sumber: Sinar Harapan