Isu kemerdekaan acapkali didengungkan di dalam sejumlah karya sastra besar sebagai pondasi cita-cita, meski imajiner.
Adalah hak asasi manusia yang paling krusial, kemerdekaan diidentikkan dengan istilah kebebasan, otonomi, serta
kedaulatan. Karenanya, isu ini secara luarbiasa menganut interpretasi individualistik yang menyita banyak perhatian dan
pemahaman. Telah banyak kajian atas karya-karya sastra bertaraf nasional maupun internasional yang menggusung
tema-tema perjuangan personal atau komunal dalam upaya memperoleh kemerdekaan bersikap, bertutur, berpikir,
maupun berkeyakinan. Wilayah kajiannya secara universal mengupas tuntas dari A sampai Z tentang latar belakang sosio-
historis dan kultur si penulis dan/atau si karakter untuk mendalami lebih jauh problematika keduanya dalam menegaskan
ke-ada-annya (being). Subjek-subjek seperti penduduk asli benua Amerika, Kulit Hitam, dan kaum perempuan merupakan
sasaran empuk untuk menandai esensialitas isu kemerdekaan dalam kesusastraan Amerika, khususnya.
Mengkaji kesusastraan Amerika takkan pernah lepas dari sejarah “berdirinya” Amerika yang hingga kini disebut-sebut
sebagai kiblatnya sudut pandang dunia (world point of view). Selama ekspansi Barat pada pertengahan dan akhir 1800-
an, kemerdekaan penduduk asli benua Amerika—Indian—dirampas. Sebagai peletak batu pertama di benua Amerika,
orang-orang Indian meyakini bahwa Amerika adalah tanah leluhur mereka tempat kedaulatan atas segala hal yang
menyangkut hidup-mati mereka ada sepenuhnya di tangan mereka. Namun, dengan kedatangan kapal-kapal Kulit Putih
dan kroni-kroninya, hidup mereka tidak lagi mengabdi untuk mewujudkan harapan mereka dan melestarikan kebudayaan
leluhur mereka, alih-alih mereka menjadi budak Barat. Asumsi Eropasentris, bahwa penduduk kulit berwarna adalah
komunitas yang tidak beradab dan kaum barbar, dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menjajah hak asasi mereka.
Karya-karya sastra(wan) Native American seperti Almanac of the Dead-nya Leslie Marmon Silko, Power-nya Linda Hogan,
dan Dark River-nya Louis Owens mendemonstrasikan kesewenang-wenangan Kulit Putih atas ketakberdayaan Kulit
Berwarna.
Lebih jauh lagi, setelah benua Amerika berevolusi menjadi sebuah benua impian, serangkaian perjuangan untuk
mencecap manisnya kemerdekaan diwariskan kepada para imigran yang ingin mengadu nasib mereka di Amerika. Iming-
iming akan kesejahteraan, kesetaraan, dan kesempurnaan hidup “mengundang” para imigran ke Amerika untuk berduyun-
duyun mengubah status dan imej sosial mereka. Hingga lahirlah generasi-generasi peranakan Afrika-Amerika, misalnya,
yang diharapkan mampu merealisasikan iming-iming tersebut. Sayangnya, sejarah berkata lain. Sekali lagi, kedaulatan
personal diruntuhkan oleh penghakiman berbasis rasial.
Sejarah masa lalu Kulit Hitam sebagai “generasi budak” menjadi suatu penghalang dalam upaya menyejajarkan
kemerdekaan mereka dengan kemerdekaan Kulit Putih di segala aspek kehidupan. Booker T. Washington, dalam
bukunya Up from Slavery yang mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai seorang budak yang selalu dipandang
sebelah mata oleh Kulit Putih, menegaskan bahwa Kulit Hitam saat ini harus bertekad kuat memperjuangkan
kemerdekaan mereka. Kemudian, dalam kesempatan lain, Langston Hughes juga mencoba menunjukkan betapa
kesetaraan kesempatan dan hak Kulit Hitam masih dicurangi pada zaman modern ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa
mereka juga ikut berjasa dalam keberhasilan Amerika menyandang predikat sebagai negara adikuasa. Puisinya yang
berasa optimistik, “I, Too”, menggembor-gemborkan bagaimana Kulit Hitam suatu saat akan mampu duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi dengan kolega-kolega Kulit Putihnya:
Tomorrow, I’ll sit at the table
When company comes
I too, am America.
Tak kalah radikalnya, Zora Neale Hurston, penulis wanita Afrika-Amerika, dalam salah satu karyanya yang masyhur—How
It Feels to Be Colored Me—menyuarakan eksistensinya sebagai suatu fragmen dalam “Satu Jiwa Besar”, negaranya, yang
akan selalu ikut andil dalam setiap gerak pembangunan. Benar atau salah, Amerika adalah tetap tanah airnya.
Tidak seperti penjajahan secara fisik yang dirasakan oleh Indian dan Kulit Putih, kaum perempuan adalah korban
penjajahan secara emosional. Dalam kitab suci atau norma-norma sosial, kaum perempuan dieksekusi kebebasannya
dengan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkarya dan bersuara. Kalaupun ada yang memberanikan diri
untuk mengemuka, ia dinilai sebagai pemberontak. Penulis besar seperti Kate Chopin merefleksikan isu kemerdekaan
perempuan itu dalam karyanya The Awakening. Lewat karakternya, Edna, ia berusaha untuk menumbangkan seluruh
ekspektasi sosial kaum perempuan dalam ruang hidupnya. Edna ingin merasa merdeka atas keluarganya, tanggung
jawabnya, dan kehidupan yang ia jalani.
Secara bersamaan, peta Indonesia yang menganut pluralisme juga tak ayal bersinggungan tanpa lelah dengan isu
kemerdekaan yang menjadi subject matter dalam pembahasan konflik multikultur dan masalah gender. Sejumlah penulis
kondang Indonesia seperti Toety Heraty, Putu Wijaya, Remi Sylado, dan Pramoedya Ananta Toer tak putus-putusnya
mengangkat esensi kemerdekaan ke permukaan. Yang terakhir, tetralogi novel yang dipublikasikannya sangatlah kental
aroma postkolonialnya. Setting masa peperangan melawan penjajah, emansipasi wanita, dan perjuangan komunitas
nonpribumi untuk survive di iklim kedaerahan Indonesia yang telah mengurat-akar, kesemuanya dijadikan sebagai ujung
pena dalam menuliskan makna “‘tinggi” kemerdekaan lewat karya sastra.
Isu kemerdekaan dalam kesusastraan tidak akan pernah hanya mengantongi satu arti, sebab penulis—sebagai makhluk
individual—memiliki keyakinan personal yang membentuk kepribadian dan kematangan dirinya. Di lain sisi, sebagai
makhluk sosial, ia mau tidak mau harus berkubang dalam norma-norma yang mengelilinginya. Meski tak sehati, norma-
norma itu menjejakkan pemahaman dan pengertian khusus dalam pembacaan mata-sosialnya. Intisari individualitas
kemerdekaan yang dituangkan dalam buah karya setiap penulis merupakan reaksi emosinal dari pembacaan
kontemplatif menyangkut lelakon hidup mereka dan realitas di sekeliling mereka.
*) Fati Soewandi, penyair dan esais, tinggal di Surabaya
Sumber: Cybersastra
Senin, 25 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar