Sejarah perfilman Indonesia memang tidak steril dari pelarangan, terutama di masa Orde Baru. Ternyata di masa
reformasi, kenyataan ini masih terjadi dan kini menimpa film Lastri. Yang menarik: film garapan sutradara Eros Djarot ini
dicekal justru oleh masyarakat sipil, pada saat shooting. Ini merupakan preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di
negeri ini.
Di beberapa daerah di bekas Karesidenan Surakarta shooting Lastri dihentikan beberapa kelompok masyarakat.
Alasannya: Lastri menyebarluaskan komunisme. Forum Komunikasi Peduli Ekspresi Berkesenian Surakarta (FKPEBS)
berunjuk rasa di depan Markas Kepolisian Wilayah Surakarta. Mereka menyatakan mendukung pembuatan film Lastri.
Sementara Kepala Polisi Wilayah Surakarta Komisaris Besar Taufiq Anshori menyatakan tidak melarang shooting film
Lastri, tetapi menganjurkan produser film itu mengkaji ulang rencana pengambilan gambar di Surakarta karena melihat
indikasi semakin meluasnya potensi ancaman dari kelompok orang yang menolak pembuatan film tersebut (Kompas
18/11).
Mengadili proses
Karya seni dinilai utuh jika telah selesai menempuh proses penciptaan, baik secara teknis maupun nonteknis, sehingga
dapat diapresiasi, direspons secara kritis atau bahkan ”diadili” secara objektif. Mengadili karya seni—ketika masih dalam
proses—sama dengan penistaan terhadap kreator sekaligus perampasan hak berekspresi. Tindakan otoriter itu dapat
dinilai sebagai anti kebudayaan.
Begitu juga dalam kasus Lastri. Siapa pun boleh tidak setuju, tetapi tetap harus adil untuk memberikan ruang bagi
penciptaan Lastri. Mengadili proses penciptaan karya yang belum selesai dan jadi sama dengan mengadili ”hantu”:
sesuatu yang tidak tampak atau belum menyosok. Bagaimana mungkin sesuatu yang masih menjadi misteri itu dijadikan
obyek tuduhan? Akhirnya, para pengadil hanya berkutat di wilayah asumsi, bukan data dan fakta.
Asumsi tidak dapat dijadikan sebagai dasar tuduhan apalagi pengadilan atas sebuah karya. Asumsi selalu bersifat
spekulatif, sumir, dan berpotensi menjadi ”fitnah” karena tidak berdasarkan data dan fakta. Asumsi dibangun dari
kepingan-kepingan gosip, desas-desus, kabar burung, dan berbagai informasi lainnya yang super subyektif dan tidak
akurat. Padahal, tuduhan harus akurat.
Pengadilan jalanan yang menimpa Lastri jauh lebih berbahaya dibanding represi politik melalui prosedur kekuasaan
semasa Orde Baru, baik melalui Badan Sensor Film (BSF) maupun Departemen Penerangan (Deppen), meskipun
keduanya sama-sama antidemokrasi. Pada kasus pelarangan yang prosedural, masih dihormati eksistensi film sebagai
karya yang utuh, karena BSF maupun Deppen tidak mengadili proses seperti dalam kasus Lastri. Selain itu, masih ada
ruang dialog di mana sineas dapat membela karyanya meskipun akhirnya otoritas pemerintahlah yang menentukan.
Kenyataan itu bisa kita lihat dalam leksikon perfilman Indonesia. Di sana muncul film-film yang dilarang beredar atas
nama keamanan (stabilitas politik). Pada tahun 1980-an Matahari-matahari karya sutradara Arifin C Noer harus tertahan
lama di laci BSF karena dianggap ”berbau komunisme”. Pihak pemerintah waktu itu tidak menolak alasan Arifin bahwa ia
tidak mungkin menyebarkan ajaran komunisme karena dia santri dan tidak sepaham dengan ideologi komunisme. Selain
itu, ia juga dipercaya pemerintah Orde Baru untuk membuat film Serangan Fajar yang menonjolkan kepahlawanan
Soeharto. ”Kurang apa lagi?” ujar Arifin kesal.
Matahari-matahari akhirnya beredar setelah ”disunting” gunting sensor. Hal yang dicurigai pemerintah sebagai ”aroma
komunisme” dalam film itu ternyata: temanya adalah tentang kemiskinan masyarakat urban. Pemerintah
menggeneralisasi: setiap tema yang bicara kemiskinan selalu berbau komunisme. Paranoid, memang.
Film lain yang dicekal BSF adalah Bung Kecil garapan Sophan Sophiaan yang dinilai memuat kritik sosial terlalu keras.
Bung Kecil pun harus diparkir lama di BSF dan bisa beredar namun tidak utuh.
Meskipun tidak dicekal, film-film karya Sjuman Jaya—lulusan Moskwa—selalu mendapat perhatian ekstra dari pemerintah,
seperti Renungkanlah Si Mamad (bertema antikorupsi), Kerikil-kerikil Tajam (kesenjangan sosial), Yang Muda Yang
Bercinta (kesenjangan generasi muda dan tua). Film ini dibintangi penyair kritis Rendra dan skenarionya ditulis Umar
Kayam yang kritis terhadap Orde Baru. Film-film itu harus ngendon lama di BSF dan akhirnya bisa beredar setelah ”
dihaluskan” cuter sensor.
Film lain yang juga mendapat ”catatan” pemerintah adalah Ponirah Terpidana karya Slamet Rahardjo Djarot, gara-gara
salah satu aktor utamanya adalah Bambang Hermanto yang mendapat stigma ”kiri”.
Kekerasan masyarakat sipil
Pelarangan (penolakan) pembuatan Lastri oleh kelompok-kelompok sipil membuktikan bahwa iklim kebebasan
berekspresi di negeri ini tidak otomatis kondusif seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Pelaku tindakan represif itu
mengalami metamorfosis dari rezim ke masyarakat sipil. Esensi sama: merampas hak orang untuk berkreasi.
Di sisi lain, pelarangan itu juga membuktikan: komunisme sebagai isu politik ternyata masih kemedol, alias marketable,
meskipun kini komunisme telah bangkrut, termasuk di kandangnya, Soviet.
Beberapa hal bisa kita baca dari kasus Lastri. Pertama, pelarangan terhadap ekspresi seni, termasuk kreasi film,
merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap kebudayaan, di mana kreator berada dalam posisi sebagai korban.
Kekerasan selalu menimbulkan pengalaman traumatik dalam diri korban. Efek itulah yang diharapkan oleh pelaku
kekerasan.
Kedua, toleransi atas pelarangan yang dilakukan masyarakat sipil itu telah menggeser peran dan fungsi otoritas negara
(baca: pemerintah/penegak hukum). Kenyataan ini akan menyuburkan ”polisi-polisi sipil” yang mengatur, menertibkan,
dan bahkan menghukum aspirasi/gagasan alternatif yang dinilai tidak sesuai dengan pandangan/ideologi mereka. Stigma
subversi—yang selalu digunakan Orde Baru untuk memberangus lawan-lawan politiknya—sangat mungkin akan kembali
merebak digunakan ”polisi-polisi sipil” untuk memberangus pihak lain yang dianggap berbeda.
Ketiga, pelarangan itu berpotensi melahirkan hegemoni mono kultur yang bertentangan dengan multikultur bangsa ini, di
mana setiap suku bangsa termasuk individu di dalamnya berhak mengekspresikan kreativitas kulturalnya. Kekayaan
budaya berupa pluralitas pun bisa terancam. Jika monokultur itu semakin menguat dan hegemonik, tidak menutup
kemungkinan melahirkan disintegrasi sosial, bangsa dan negara.
Semestinya pemerintah, dalam hal ini pihak penegak hukum, menempuh langkah-langkah strategis untuk mengatasi
kekerasan masyarakat sipil ini agar tidak semakin berkembang dan akhirnya menjadi bola salju yang mengancam
kebebasan berekspresi, keragaman budaya dan keutuhan bangsa kita.
Oleh: INDRA TRANGGONO Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/23/11023598/kisah.sedih.
Senin, 25 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar